Bank Garansi adalah jaminan yang diberikan oleh bank untuk kepentingan nasabah, yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada penerima jaminan (pihak ketiga) bahwa bank akan memenuhi kewajiban nasabah kepada penerima jaminan (pihak ketiga) apabila nasabah wanprestasi (tidak memenuhi kewajiban) kepada penerima jaminan (pihak ketiga), sesuai yang telah diperjanjikan.
Dengan demikian perlu disadari bahwa dengan memberikan bank garansi, berarti bank telah membuat pengakuan atau janji (secara tertulis) kepada penerima jaminan (pihak ketiga) untuk memenuhi kewajiban nasabah kepada penerima jaminan (pihak ketiga) apabila nasabah wanprestasi dengan membayar sejumlah uang tertentu. Dalam hubungan transaksi ini jelas bahwa dengan pemberian bank garansi, risiko yang dihadapi oleh penerima jaminan (pihak ketiga) diambil-alih oleh bank. Sebagai kompensasi atas kesanggupan mengambil-alih risiko ini, bank harus mendapatkan fee (provisi) dan meminta kontra garansi dari nasabah (sebagai pihak yang dijamin oleh bank) dalam jumlah yang memadai sesuai dengan perhitungan bisnis.
Disamping kesadaran akan adanya risiko, hal selanjutnya yang paling mendasar untuk difahami yaitu bahwa risiko bank garansi akan terjadi apabila nasabah yang diberikan jaminan oleh bank melakukan perbuatan wanprestasi. Dengan demikian analisis risiko harus diawali dengan menilai kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga (penerima jaminan) yang mencakup aspek-aspek kualitatif (seperti karakter dan manajemen) dan aspek kuantitatif (kondisi financial) nasabah.
Dengan memperhatikan pengertian diatas dapat difahami bahwa lahirnya bank garansi didahului adanya proses transaksi antara nasabah dengan pihak ketiga (penerima jaminan), sehingga bank garansi merupakan perjanjian accesoir dan perjanjian pokoknya yaitu transaksi antara nasabah dengan pihak ketiga (penerima jaminan).
Ditinjau dari segi hukum bank garansi termasuk perjanjian penanggungan (borgtocht), yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1820 – 1850, yang mengatur masalah penanggungan hutang secara umum. Sedangkan ketentuan yang mengatur bentuk dan syarat-syarat minimal bank garansi, ditentukan oleh Bank Indoneisa. Selain itu aturan hukumnya juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.
Dalam ketentuan yang mengatur isi bank garansi, antara lain diatur masalah klausula yaitu ketentuan yang mengatur bahwa dalam fungsinya sebagai penanggung (borg), bank melepaskan hak-hak istimewa sebagaimana diatur dalam pasal 1831 KUH Perdata, sehingga dengan demikian bank harus membayar klaim yang diajukan oleh penerima bank garansi apabila nasabah wanprestasi.
Sejalan dengan pengertian diatas, pemberian bank garansi harus dilakukan sesuai dengan filosofi dan proses pemberian kredit, baik menyangkut analisis kelayakan dan analisis risiko maupun ketentuan kewenangan memutus.
Jenis Bank Garansi
A. Garansi dalam bentuk warkat
Yaitu bank garansi yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kewajiban membayar bagi bank terhadap pihak yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin (nasabah) cidera janji (wanprestasi). Dilihat dari sisi penggunaannya, bank garansi dalam bentuk warkat dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Bank Garansi Yang Diberikan Untuk Mendukung Modal Kerja Adalah bank garansi untuk mendukung modal kerja nasabah, yang biasanya digunakan untuk pelaksanaan suatu kegiatan dalam suatu proyek/pengadaan barang dan atau keagenan / distributor oleh nasabah. bank garansi untuk kepentingan proyek ini dapat diberikan kepada Main Contractor dan Sub Contractor berdasarkan analisis kelayakan oleh pejabat kredit lini. bank garansi untuk mendukung modal kerja ini dapat dirinci sebagai berikut :
a. Bank Garansi Untuk Proyek Pembangunan/Pengadaan Barang/Jasa
Jaminan Tender (Tender / Bid Bond) merupakan jenis bank garansi yang diberikan pada nasabah dengan tujuan agar nasabah dapat mengikuti kegiatan tender suatu proyek tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan pemilik proyek. Dengan diterbitkannya Tender/Bid Bond, maka BRI menjamin bahwa: “Nasabah akan melaksanakan kewajibannya untuk mengikuti tender tersebut sesuai persyaratan yang ditetapkan pemilik proyek’.
Jaminan Uang Muka (Advance Payment Bond) merupakan jenis bank garansi yang diberikan kepada nasabah untuk kepentingan pemilik proyek (bouwheer), dengan tujuan untuk menjamin pengambilan uang muka oleh nasabah dalam rangka pelaksanaan tahapan tertentu dari suatu proyek.
Jaminan Pelaksanaan Proyek (Performance Bond) merupakan jenis bank garansi yang diberikan kepada nasabah untuk kepentingan pemilik proyek (bouwheer) dalam rangka pelaksanaan suatu proyek atau pekerjaan sesuai dengan kontrak kerja yang sudah ditandatangani.
Jaminan Pemeliharaan (Maintenance Bond) merupakan jenis bank garansi yang diberikan kepada nasabah untuk kepentingan pemilik proyek dalam rangka pemeliharaan suatu proyek tertentu selama jangka waktu tertentu, sesuai dengan kontrak kerja yang sudah ditandatanganinya.
Besarnya nilai garansi untuk kepentingan proyek ini (tender bond, advance payment bond, performance bond dan maintenance bond), ditentukan oleh permintaan atau syarat yang ditetapkan pihak bouwheer atau pemilik proyek.
b. Bank Garansi Untuk Pembelian / Pengadaan Bahan Baku / Stock Barang Dagangan dan Perdagangan ( Agen/Dealer )
Jenis bank garansi ini bertujuan untuk menjamin pihak pemasok (supplier, pabrikan) yang memasok bahan baku atau barang dagangan yang digunakan/diperlukan oleh nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan modal kerja nasabah.
c. Bank Garansi Untuk Kepentingan Pita Cukai Rokok
bank garansi ini diterbitkan dengan tujuan untuk kepentingan nasabah dalam rangka pembebasan dan atau penangguhan pembayaran kewajiban cukai, bea masuk, serta pungutan lainnya yang harus dipenuhi oleh nasabah.
2. Bank Garansi Diberikan Untuk Mendukung Keperluan Investasi
bank garansi untuk kepentingan Bea Cukai dalam rangka pembebasan Bea Masuk dan pungutan lain-lain untuk pengadaan barang investasi. bank garansi sejenis ini biasanya diberikan untuk menjamin bahwa barangbarang yang diimpor oleh nasabah akan digunakan untuk kepentingan investasi, sehingga barang tersebut dapat diberikan fasilitas bebas bea masuk dan pungutan lainnya. Perlu diketahui bahwa penerbitan bank garansi oleh bank untuk kepentingan bea dan cukai, hanya untuk barang-barang yang diperkenankan oleh Menteri Keuangan.
3. Standby Letter of Credit ( SBLC )
Penerbitan Standby L/C oleh bank (sebagai pihak yang menjamin) pada dasarnya merupakan suatu jenis garansi (jaminan) yang diberikan atas permintaan nasabah untuk kepentingan bank Lain atau pihak yang menerima jaminan (beneficiary), berdasarkan term of payment sesuai yang dinyatakan dalam Standby L/C, terlepas dari underlying transaction antara beneficiary dan account party, termasuk pula jaminan dalam rangka pemberian kredit. Kewenangan penggunaan Credit Line kepada bank luar negeri dalam rangka penerbitan SBLC dilakukan oleh Divisi Internasional. Sedangkan kewenangan penggunaan Credit Line kepada bank dalam negeri dalam rangka penerbitan SBLC dilakukan oleh Divisi Treasury.
B. Garansi Dalam Bentuk Penandatanganan Atas Surat Berharga
Garansi dalam bentuk penandatanganan surat-surat berharga seperti aval dan endorsement dengan hak regress akan dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila pihak yang dijamin cidera janji. Pemberian garansi dalam bentuk penandatanganan surat-surat berharga, mulai berlaku sejak tanggal dilakukannya pembubuhan tanda tangan kedua dan seterusnya atas surat-surat berharga yang bersangkutan oleh bank dan berakhir apabila :
1. Telah ada pembayaran dari debitur baik dalam hal tidak terjadi klaim maupun dalam hal terjadi klaim yang kemudian diterima. Yang dimaksud dengan debitur adalah pihak tertarik (dalam hal wesel) dan penandatanganan atau penerbit (dalam hal promes).
2. Tidak diterima pemberitahuan klaim dalam tenggang waktu menurut ketentuan yang ditetapkan dalam kitab undang undang Hukum dagang.
Mengingat bank garansi dalam bentuk penandatanganan surat berharga termasuk dalam ruang lingkup produk operasional yang menjadi tugas Divisi Treasury, maka pengaturan lebih lanjut mengenai bank garansi dalam bentuk penandatanganan surat berharga akan dilakukan oleh Divisi Treasury.
C. Garansi Lainnya
Garansi lainnya merupakan garansi (jaminan) yang dikeluarkan oleh bank diluar jenis garansi tersebut diatas. Apapun bentuknya, dengan dikeluarkannya garansi tersebut, bank tetap bertindak sebagai penjamin yang dapat menimbulkan kewajiban membayar sejumlah tertentu kepada pihak yang dijamin.
Adapun jenis garansi lainnya adalah sebagai berikut :
1. Garansi Bersyarat, Garansi ini merupakan garansi (jaminan) yang terjadi karena adanya perjanjian bersyarat, sehingga dapat menimbulkan kewajiban membayar pada bank bersangkutan sejumlah tertentu apabila pihak yang dijamin cidera janji, seperti halnya Letter of credit (L/C)
2. Garansi Dalam Bentuk Surat, Pemberian garansi seperti ini diberikan dalam bentuk surat yang mulai berlaku pada saat penandatanganan garansi dan berakhir pada saat realisasi garansi dimana syarat perjanjian dipenuhi, atau pada saat tidak dipenuhinya syarat perjanjian. Pemberian garansi seperti ini dapat diterbitkan sendiri atau dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas warkat-warkat pihak lain yang menimbulkan kewajiban pemberian garansi, seperti Letter of commitment.
Syarat-syarat Minimum yang Harus Dipenuhi Pada Setiap Penerbitan Bank Garansi
1. Judul “Bank Garansi”
Dalam hal bank mengeluarkan bank garansi dalam bahasa asing, maka dibawah judul dalam bahasa asing tersebut harus diberi judul dalam kurung “Bank Garansi”.
2. Nama dan alamat bank pemberi
3. Tanggal penerbitan
4. Transaksi antara pihak yang dijamin (nasabah) dengan pihak penerima garansi, yaitu perjanjian pokok yang dijamin dengan perjanjian garansi, misalnya tender, pemenuhan bea masuk, pembangunan suatu proyek, pengadaan barang, pemeliharaan proyek, perijinan perdagangan valuta asing, dsb. Transaksi atau perjanjian pokok yang dijamin dengan bank garansi tersebut harus jelas, sehingga kriteria wan prestasi dapat dibuktikan dengan jelas tanpa adanya salah persepsi dari masing-masing pihak (Bank, nasabah dan pihak penerima jaminan ).
5. Jumlah uang yang dijamin
6. Tanggal mulai berlaku dan berakhir Jangka Waktu bank garansi adalah jangka waktu yang tertera dalam warkat bank garansi. Jangka waktu bank garansi diperbolehkan sampai dengan maksimal 12 bulan. Pemberian bank garansi dengan jangka waktu melampaui 12 bulan, dapat dipertimbangkan setelah memperoleh izin prinsip Direktur Bisnis dan Direktur Pengendalian Kredit yang diajukan melalui Divisi Administrasi Kredit. Masa berlaku bank garansi dimulai sejak tanggal penerbitan warkat bank garansi dan berakhir sampai dengan tanggal yang ditetapkan dalam warkat bank garansi tersebut.
7. Penegasan batas waktu pengajuan klaim bank garansi yang diterbitkan harus dengan tegas mencantumkan “bahwa klaim dapat diajukan segera setelah timbul wanprestasi, dengan batas waktu pengajuan terakhir sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari kalender dan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender setelah berakhirnya bank garansi tersebut”.
8. Pernyataan bahwa penjamin (bank) melepaskan hak istimewa sebagaimana pasal 1831 KUH Perdata. Dengan melepaskan hak istimewa tersebut, maka penjamin (bank) wajib membayar bank garansi tersebut segera setelah timbul wanprestasi.
Calon Nasabah Yang Tidak Boleh Diberikan Fasilitas Bank Garansi
a. Warga negara asing
b. Badan hukum asing atau badan asing lainnya Tidak termasuk dalam pengertian Badan Hukum Asing atau Badan Asing lainnya adalah Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dan perusahaan patungan (Joint Venture) yang berbadan hukum Indonesia.
c. Warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap Negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia
d. Perwakilan negara asing dan Lembaga Internasional di Indonesia
e. Kantor Bank / Badan Hukum Indonesia di luar negeri
DAFTAR PUSTAKA
Soedewi Sri Masjchoen Sofwan. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta : Badan Pembinaan Nasional Departemen Kehakiman. 1980.
Surat Edaran Bank, Nomor S.10 -DIR/ADK/04/2003 tentang Bank Garansi
all about me...all about us
Kamis, 10 Maret 2011
Rabu, 09 Maret 2011
SAYANG IBU
Malam ini, saat yang dapat terdengar hanyalah nyanyian malam, suara jangkring yang menambah indahnya malam…
Kutatap wajah ibuku dalam-dalam, dan semakin kutatap tak terasa air matakupun menetes membasuh pipiku. Kupandangi dan kumaknai setiap sisi wajahnya, dan kudapati begitu banyak penat dan keluh didalamnya, begitu lelah parasnya, namun bibirnya tak pernah lepas dari senyum kasih sayangnya…
Dan dibalik senyumnya itu, kudapati berjuta harapan yang dia tanamkan untukku, namun aku tak merasa tertekan…
Aku bangkit… untuk menghantarkan ibuku mewujudkan mimpinya melihatku menjadi wanita yang dewasa dan mampu untuk berdiri di atas kakiku sendiri. Seperti doa yang selalu iya panjatkan dalam sepertiga malam untukku…
Malampun semakin larut, dan semakin dalam mataku menatap wajah penuh cahaya kasih sayang itu… sungguh, air matakupun semakin deras membasahi pipiku… aku ingin membangunkannya dan bersujud di kakinya serta berucapan sayang, terima kasih dan maaf untuknya…
Untukmu ibu… keheningan malam ini akan menjadi saksi bahwa engkaulah yang paling berharga dalam hidupku, bahwa doamu dalam setiap sujudmu tak akan menjadi harapan belaka, karna aku akan berbakti padamu…
Love you ibu…
Kutatap wajah ibuku dalam-dalam, dan semakin kutatap tak terasa air matakupun menetes membasuh pipiku. Kupandangi dan kumaknai setiap sisi wajahnya, dan kudapati begitu banyak penat dan keluh didalamnya, begitu lelah parasnya, namun bibirnya tak pernah lepas dari senyum kasih sayangnya…
Dan dibalik senyumnya itu, kudapati berjuta harapan yang dia tanamkan untukku, namun aku tak merasa tertekan…
Aku bangkit… untuk menghantarkan ibuku mewujudkan mimpinya melihatku menjadi wanita yang dewasa dan mampu untuk berdiri di atas kakiku sendiri. Seperti doa yang selalu iya panjatkan dalam sepertiga malam untukku…
Malampun semakin larut, dan semakin dalam mataku menatap wajah penuh cahaya kasih sayang itu… sungguh, air matakupun semakin deras membasahi pipiku… aku ingin membangunkannya dan bersujud di kakinya serta berucapan sayang, terima kasih dan maaf untuknya…
Untukmu ibu… keheningan malam ini akan menjadi saksi bahwa engkaulah yang paling berharga dalam hidupku, bahwa doamu dalam setiap sujudmu tak akan menjadi harapan belaka, karna aku akan berbakti padamu…
Love you ibu…
BACA AJA...
kecewa adalah sesuatu yang wajar-wajar saja...
jadi kalo kecewa dibawa santai saja...
kalo kita dicuekin, pasti kita kecewa.
kalo kita dihianati, pasti kita kecewa...
masih banyak lagi faktor yang membuat manusia bisa kecewa...
kembali saya ulang, kecewa adalah sesuatu yang wajar-wajar saja...
tapi satu.. ada sesuatu yang tidak boleh kita kecewakan...
TUHAN, orang tua, dan orang-orang yang selalu mengasihi kita dan menuntun kita ke arah yang lebih baik...
maka dari itu, jangan buat mereka kecewa...
TUHAN, atas kebesaran-Nya, memberikan kita nyawa, nafas, kehidupan, keindahan dunia-Nya..
maka bukan kekecewaan untuk-Nya... melainkan rasa syukur dan melaksanakan perintah-Nya...
orang tua, dan orang-orang yang selalu mengasihi kita dan menuntun kita ke arah yang lebih baik... terlalu kejam jika kita menghancurkan mimpi-mimpi yang mereka tanam untuk kita...
maka saat ini, mari kita berusaha untuk menjadi yang lebih baik...
jangan mengecewakan mereka...
semangat...
^.^
jadi kalo kecewa dibawa santai saja...
kalo kita dicuekin, pasti kita kecewa.
kalo kita dihianati, pasti kita kecewa...
masih banyak lagi faktor yang membuat manusia bisa kecewa...
kembali saya ulang, kecewa adalah sesuatu yang wajar-wajar saja...
tapi satu.. ada sesuatu yang tidak boleh kita kecewakan...
TUHAN, orang tua, dan orang-orang yang selalu mengasihi kita dan menuntun kita ke arah yang lebih baik...
maka dari itu, jangan buat mereka kecewa...
TUHAN, atas kebesaran-Nya, memberikan kita nyawa, nafas, kehidupan, keindahan dunia-Nya..
maka bukan kekecewaan untuk-Nya... melainkan rasa syukur dan melaksanakan perintah-Nya...
orang tua, dan orang-orang yang selalu mengasihi kita dan menuntun kita ke arah yang lebih baik... terlalu kejam jika kita menghancurkan mimpi-mimpi yang mereka tanam untuk kita...
maka saat ini, mari kita berusaha untuk menjadi yang lebih baik...
jangan mengecewakan mereka...
semangat...
^.^
PRIA DAN WANITA
saya percaya...
Seorang lelaki itu diberikan kekuatan dua kali lipat di bandingkan wanita...
Karena wanita hanyalah manusia yang tercipta dari satu tulang rusuk saja, yaitu tulang rusuk seorang lelaki..
Itulah keistimewaan lelaki yang diberikan kekuatan lebih untuk menjaga satu tulang rusuknya yang berwujud wanita...
Dan itulah istimewanya wanita yang akan selalu terlindungi oleh lelaki...
Karena wanita,,,
Adalah salah satu bagian dari organ tubuh lelaki...
Wahai lelaki,
Janganlah , menyakiti tubuhmu sendiri...
Dan engkau wanita,
temukanlah pasangan tulangmu yang sesuai, jangan paksakan egomu...
Wanita tidak lemah, tapi jangan paksakan untuk menandingi kekuatan lelaki yang pada kodratnya memang seperti itu...
(tulisan org baru bangun tidur, hahaha)
Seorang lelaki itu diberikan kekuatan dua kali lipat di bandingkan wanita...
Karena wanita hanyalah manusia yang tercipta dari satu tulang rusuk saja, yaitu tulang rusuk seorang lelaki..
Itulah keistimewaan lelaki yang diberikan kekuatan lebih untuk menjaga satu tulang rusuknya yang berwujud wanita...
Dan itulah istimewanya wanita yang akan selalu terlindungi oleh lelaki...
Karena wanita,,,
Adalah salah satu bagian dari organ tubuh lelaki...
Wahai lelaki,
Janganlah , menyakiti tubuhmu sendiri...
Dan engkau wanita,
temukanlah pasangan tulangmu yang sesuai, jangan paksakan egomu...
Wanita tidak lemah, tapi jangan paksakan untuk menandingi kekuatan lelaki yang pada kodratnya memang seperti itu...
(tulisan org baru bangun tidur, hahaha)
Kajian Psikologi Hukum
RINCIAN SUBJEK BAHASAN PSIKOLOGI HUKUM
Materi kajian psikologi hukum oleh Brian L. Cutler dibagi dalam 17 pokok bahasan, yaitu :
1. Criminal Competencies (kompetensi kriminal)
2. Criminal Responsibility (pertanggungjawaban pidana)
3. Death Penalty (Pidana Mati)
4. Divorce and Child Custody (perceraian dan pemeliharaan anak)
5. Education and Profesional development (pendidikan dan perkembangan profesional)
6. Eyewitness Memory (memory saksi mata)
7. Forensic Assessment in civil and criminal cases( penilaian forensik dalam kasus pidana dan perdata)
8. Juvinile Offenders (pelanggar hukum yang masih anak-anak)
9. Mental Health Law ( Hukum Kesehatan Mental)
10. Psychological and Forensic assessment instruments.
11. Psychologicy of criminal behavior.
12. Psychology of policing and investigations.
13. Sentencing and incarceration.
14. Symptoms and disorders relevant to forensic assessment
15. Trial Processes.
16. Victim reactions to crime.
17. Violence risk assessment.
CONTOH :
TRIAL PROCCES :
Ketika sepasang suami-istri yang mempunyai seorang anak yang masih kecil, katakanlah berusia 7 tahun, lantas pasangan itu ingin bercerai di mana masing-masing dari kedua-duanya memohon kepada hakim untuk ditetapkan sebagai wali anak itu;
Maka hal itu merupakan subjek-bahasan Psikologi Hukum, untuk membantu hakim memahami secara psikologis, demi kepentingan masa depan anak, pihak mana yang akan hakim tetapkan sebagai wali dari anak tersebut.
VIOLENCE RISK ASSESSMENT
KASUS TARASOFF, CALIFORNIA, 1976.
Seorang mahasiswa pria, Prosenjit Poddar dari University of Berkeley (California) telah bertemu dan jatuh cinta kepada mahasiswa Tarasoff. Namun Tarasoff tidak membalas cintanya, sehingga mengakibatkan Poddar sakit hati dan menderita depresi berat. Ia kemudian sampai menelantarkan studinya dan kesehatannya menjadi menurun. Beberapa bulan kemudian Poddar berobat ke psikolog dari universitas, Dr. Lawrence Moore. Sewaktu menjalani psikoterapi, Poddar mengungkapkan bahwa ia hendak membunuh mahasiswi Tarasoff tersebut. Dr. Moore membahas persoalan itu dengan atasannya Dr. Harvey Powelson, seorang psikiater. Kemudian Dr. Moore menulis suatu surat diagnosis yang memohon agar polisi kampus universitas bertindak untuk menahan Poddar selama 72 jam untuk evaluasi. Polisi universitas telah menahan Poddar namun karena Poddar tampaknya cukup rasional terhadap polisi tersebut dan berjanji akan menghindari Tarasoff sehingga ia kemudian dibebaskan.
Atasan Dr.Moore, Dr.Harvey Powelson, kemudian bahkan memerintahkan agar tidak diambil tindakan lebih lanjut terhadap Poddar dan memerintahkan data datanya dimusnahkan. Tak seorangpun yang memberitahukan Tarasoff akan bahaya yang mengancam dirinya. Enam minggu kemudian, sewaktu mahasiswi Tarasoff kembali ke kampusnya sehabis liburan, ia dibunuh oleh Poddar secara kejam . Orang tua Tarasoff kemudian menuntut universitas tersebut, polisi kampus, dan para psikoterapis yang dianggap telah berlaku lalai karena tidak memberitahukan kepada Tarasoff akan bahaya pembunuhan yang mengancam dirinya dari Poddar. Pengadilan California beranggapan bahwa apabila seorang terapis berkeyakinan bahwa seorang pasien merupakan ancaman bahaya bagi orang lain maka kewajibannya untuk memberitahukan adanya bahaya tersebut. Kewajiban itu bisa dibebaskan dengan melaporkan kepada polisi atau mengambil tindakan yang secara wajar diperlukan di dalam keadaan demikian. 2,3 .
Atasan Dr.Moore, Dr.Harvey Powelson, kemudian bahkan memerintahkan agar tidak diambil tindakan lebih lanjut terhadap Poddar dan memerintahkan data datanya dimusnahkan. Tak seorangpun yang memberitahukan Tarasoff akan bahaya yang mengancam dirinya. Enam minggu kemudian, sewaktu mahasiswi Tarasoff kembali ke kampusnya sehabis liburan, ia dibunuh oleh Poddar secara kejam . Orang tua Tarasoff kemudian menuntut universitas tersebut, polisi kampus, dan para psikoterapis yang dianggap telah berlaku lalai karena tidak memberitahukan kepada Tarasoff akan bahaya pembunuhan yang mengancam dirinya dari Poddar. Pengadilan California beranggapan bahwa apabila seorang terapis berkeyakinan bahwa seorang pasien merupakan ancaman bahaya bagi orang lain maka kewajibannya untuk memberitahukan adanya bahaya tersebut. Kewajiban itu bisa dibebaskan dengan melaporkan kepada polisi atau mengambil tindakan yang secara wajar diperlukan di dalam keadaan demikian. 2,3 .
Dari kasus ini diperoleh suatu kesimpulan bahwa penting sekali dilakukan penilaian risiko perilaku kekerasan yang muncul pada pasien dengan gangguan jiwa sehingga dapat memberikan keamanan bagi masyarakat sekitar.
EYEWITNESS MEMORY
Tembak Mati Polisi, Gasak Rp. 1,9 Miliar Perampokan di Bank Mandiri Capem Jl. Bukit Kota, Kota Pinang, Labuhan Batu. Bandit-bandit jalanan itu menembak dua polisi dan satu diantaranya kabur dengan membawa uang hasil rampokan. Polisi sulit mengetahui identitas pada perampok. Sebab mereka menutupi wajahnya dengan kain sebo ketika menjalankan aksinya. Aksi perampokan yang terjadi pukul 10.000 WIB pagi itu diawali dengan kedatangan sebuah Daihatsu Troper berplat BM. Begitu berhenti di parkiran, beberapa penumpang mobil itu berhamburan turun. Mereka langsung memberondongkan tembakan ke udara. “Empat orang menenteng senpi laras panjang dan dua senpi genggam,”ujar saksi mata di tempat kejadian. Setelah merobohkan Bripda Lauri, enam perampok masuk ke bank. Mereka menodong kasir lalu memaksanya untuk mengumpulkan uang yang ada di bank. Kasir yang ketakutan buru-buru mengambil semua uang seperti yang diminta perampok (JP, 26 Oktober 2004). Kengerian, ketakutan, keheranan, kebencian dan bahkan trauma psikologis barangkali yang menjadi kata-kata yang terungkap setelah melihat atau mengalami peristiwa tersebut.
Banyak sudut pandang yang digunakan untuk memberikan penjelasan fenomena tindakan kriminal yang ada. Pada kesempatan ini saya mencoba dari sisi psikologis pelakunya. Sudut pandang ini tidak dimaksudkan untuk memaklumi tindakan kriminalnya, melainkan semata-mata hanya sebagai penjelasan.
DIVORCE AND CHILD CUSTODY
Ketika sepasang suami-istri yang mempunyai seorang anak yang masih kecil, katakanlah berusia 7 tahun, lantas pasangan itu ingin bercerai di mana masing-masing dari kedua-duanya memohon kepada hakim untuk ditetapkan sebagai wali anak itu;
Maka hal itu merupakan subjek-bahasan Psikologi Hukum, untuk membantu hakim memahami secara psikologis, demi kepentingan masa depan anak, pihak mana yang akan hakim tetapkan sebagai wali dari anak tersebut.
DEATH PENALTY
Penentuan pidana mati oleh hakim dengan melakukan semua proses yang ada, maka dalam tahap putusan jika terbukti bahwa hukuman yang alan diberikan oleh terpina adalah pidan mati, maka factor psikologis dari terpidan harus diperhatikan. Contoh yang selama ini ada adalah bahwa terpidana di berikan kesempatan untuk mengajukan apa yang dia inginkan sebelum eksekusi dilakukan yang berkaitan dengan psikologi.
JUVINILE OFFENDERS
Seorang pelanggar hokum yang masih anak-anak, tahap pertama yang dilakukan sebelum menghakimi anak itu adalahperlu diketahui atau diselidiiki latar belakang mengapa anak tersebut melakukan pelanggaran hukum (penyimpangan). Setelah diketahui penyebabnya,maka adapun putusan yang akan dijatuhkan kepada anak yang melakukan pelanggaran hukum tersebut tidak sama dengan putusan yang dijatuhkan pada pelanggar hokum orang dewasa. Hal ini dikarenakan factor psikologi anak-anak berbeda dengan orang dewasa, dan perbedaan psikologi ini harus diketahui oleh pihak berwenang yang akan menghakimi anak tersebut. Seorang anak masih perlu di asa psikologinya, dan masih perlu banyak belajar didunia luar, hingga pidana yang dijatuhkan berbeda dengan orang dewasa. Selain itu, perwujudan psikologi hokum atas pelanggaran hokum anak-anak ini terlihat dari adanya peradilan anak.
PSYCHOLOGICY OF CRIMINAL BEHAVIOR.
Bahwa bagaimana seorang penegak hokum dapat memahami kondisi psikologis orang yang melakukan tindak criminal, dalam hal ini latar belakang seseorang melakukan tindak criminal. Dari latar belakang itulah hakim yang memproses kasus itu, harus menggunakan factor psikologi pelaku tindak criminal juga dalam menjatuhkan putusan nantinya.
SYMPTOMS AND DISORDERS RELEVANT TO FORENSIC ASSESSMENT
Penilaian forensic terhadap gejala atau penyakit yang relevan,yang dimaksud adalah jika seorang pelaku pidana terbukti atau ternyata mempunyai gejala maupun penyakit, baik itu penyakit kejiwaan ataupun penyakit lainnya maka perlu dilakukan pertimbangan dalam aspek psikologi juga, misalnya bahwa seseorang yang sakit tidak dapat wajib mengikuti persidangan maupun seorang yang mempunyai gangguan jiwa tidak dapat dihukum atau dipidana dengan alasan sakit jiwa. Namun factor itu semua harusdapat dibuktikan.
SENTENCING AND INCARCERATION
Dalam hal pemidanaan maupun penahanan/pemenjaraan perlu diketahui bahwa factor psikologi harus diperhatikan baik pihak berwenang yang akan menjatuhkan putusan maupun pihak terkain yang akan menerima putusan. Selain itu dalam pemidanaan dan penahanan harus dilihat pula aspek psikologinya, bagaimana cara memperlakukan orang yang berbeda psikologinya dalam eksekusi yang akan dilakukan.
VICTIM REACTIONS TO CRIME
Bahwa seorang korban harus dibantu untuk menghilangkan tramu yang ada didirinya atas kejahatan yang dilakukan kepadanya, misalnya saja seorang wanita yang diperkosa akan mendapat guncangan psikologi yang besar, oleh karena itu harus dilakukan terapi atau penyembuhan trauma atas wanita tersebut sebulum kasus diproses.
MENTAL HEALTH LAW
Hokum kesehatan mental sangat dibutuhkan dalam dunia hokum, hal ini disebabkan karena kesehatan mental baik terpidana maupun yang memidana harus diperhatikan kerena, jika psikologinya tidak stabil maka putusan dapat tidak sama, dan terpidanapun akan dilemma dalam menerima putusan tersebut.
KONSTITUALISME SEBELUM DAN SETELAH PERUBAHAN
Serikat, dapat dikembalikan pada, sekurang-kurangnya dua hal. Pertama bentuk negara. Pilihan para pembentuk Konstitusi Amerika Serikat terhadap bentuk negara, yaitu Federal. Pilihan ini memunculkan problem tersendiri, yaitu formulasi pembagian kekuasaan. Sebagai daerah yang sejak semula memilki pemerintahan yang otonom, daerah-daerah setelah terbentuknya negara disebut negara bagian, tidak mau begitu saja membentuk satu federasi. Namun pengalaman sebagai suatu konfederasi merangsang mereka untuk menerima pilihan federasi, dengan pemerintahan pusat yang kuat atau dalam istilah John Jay pemerintahan pusat yang memiliki energi. Kedua, untuk pemerintah yang memiliki energi inilah, maka haruslah dirumuskan secara tepat kekuasaan pemerintah pusat. Pada level ini muncul isu lain, apakah kekuasaan pemerintah itu dilaksanakan oleh satu atau beberapa orang secara kolektif. Apakah pemerintahan harus dipolakan sebagai model pemerintahan pada masa kolonial, yaitu parlementer, sesuai negara induknya, Inggris atau tidak?
Semua masalah tersebut, akhirnya dipecahkan dengan satu formula, yaitu diatur dalam konstitusi. Karena sulitnya mengatur secara rinci batas-batas pembagian kekuasaan, dan hal lainnya secara rigid, maka hanya prinsip-prinsipnya saja yang diatur. Masalah ikutan yang muncul adalah, bagaimana membuat jaminan agar ketentuan-ketentuan dalam konstitusi akan ditaati. Untuk masalah ini dipecahkan dengan kesepakatan konstitusi disifatkan sebagai Law of the Land. Takrif sederhananya adalah konstitusi berlaku untuk seluruh wilayah, dan konstitusi merupakan hukum tertinggi yang berlaku dalam negara. Keteguhan untuk taat pada konstitusi, dengan menempatkannya sebagai hukum tertinggi dalam sistem, bukan hanya hukum, melainkan juga politik, bahkan dalam kehidupan berekonomi, itulah yang kemudian bermetamorfosa dan memunculkan isme tentang konstitusi.
Apa yang hendak dijadikan rujukan untuk mengatur penyelenggaraan negara? Ketentuan-ketentuan yang bersifat tertulis secara tegas dalam konstitusi yang dijadikan pedoman? Faktanya adalah negatif. Akan tetapi hal itu tidak dapat diartikan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak dipedomani. Yang dipedomani justru hal yang jauh lebih fundamental, yaitu nilai-nilai yang melandasi setiap pasal konstitusi. Para penyelenggara pemerintahan dari seluruh cabang kekuasaan justru menyelami setiap dimensi pemikiran dasar yang membentuk pasal atau suatu ketentuan. Itulah yang dilakukan.
Terdapat beberapa peristiwa yang membuktikan bahwa para penyelenggara menyelami ide-ide dasar yang melandasi setiap pasal, ketika menghadapi suatu peristiwa ketatanegaraan, yang tidak memiliki landasan hukum secara terang. Peristiwa pertama adalah ketidak-sediaan George Washington untuk kembali dipilih menjadi presiden. Bagi George,kekuasaan yang terlalu lama akan memunculkan kembali feodalisme. Kekuasaan pun menjadi tak terbatas. Padahal inilah yang secara tegas ditolak oleh Thomas efferson, tatkala membahas konstitusi. Peristiwa kedua yang cukup spektakuler adalah penyelesaian kasus penolakan pengangkatan terhadap William Marbury menjadi hakim, setelah terpilih, pada akhir masa jabatan John Adam. John Marsal, Chief of Supreme Court, harus menyelami pikiran-pikiran dasar yang berkembang pada saat pembahasan konstitusi dalam menyelesaikan kasus. Hasil penyelidikan terhadap gagasan dasar yang berkembang pada saat pembahasan konstitusi, mengantarkan Marshal pada kesimpulan bahwa tindakan penolakan terhadap Marbury merupakan tindakan inkonstitusional. Menurut Marbury, ide dasar yang berkembang pada saat pembentukan konstitusi, tentu yang berhasil ditemukan selama bertahun menyelami perkara itu, adalah kuatnya ide para pembentuk konstitusi untuk mencegah timbulnya tirani. Tirani, sebagaimana diyakini Thomas Jefferson, John Jay, Hamilton dan beberapa yang lainnya, dipercaya sebagai pangkal timbulnya ketidak-adilan.
Dari waktu ke waktu dalam perkembangan penyelenggaraan pemerintahannya, setiap kali terjadi persoalan-persoalan, terutama dibidang ekonomi, selalu dikembalikan pada ide dasar yang berkembang dalam pembahasan konstitusi. Misalnya doktrin tentang keagungan nilai-nilai individual, yang merupakan bagian penting dari hak asasi manusia,
diterjemahkan demikian kuat, ketat dan kaku, ke dalam doktrin kebebasan berkontrak. Doktrin ini berakibat, pemerintah tidak bisa ikut campur dalam urusan kontrak. Namun tatkala terjadi depresi ekonomi pada tahun 1930-an, doktrin ini pun perlahan ditinggalkan. Pada tahun ini pula berkembang doktrin baru yaitu, substance due process of law, di samping due process of law itu sendiri.
Gambaran sekilas tentang pertumbuhan praktek bernegara, khususnya pelembagaan dan ketaatan terhadap konstitusi, menunjukan suatu proses bagaimana semestinya mesti ditemukan. Dalam beberapa kajian mutakhir, konsep konstitusionalisme, dimengerti sebagai proses yang meliputi aspek-aspek sejarah dan kultur interpretasi atas teks, meliptui pula konteks keberlakuan teks itu sendiri. Konstitusionalisme, dalam konteks ini dapat diinterpretasi sebagai sebuah sistem yang memungkinkan berkembangnya interpretasi atas ketentuan-ketentuan konstitusi, termasuk di dalamnya praktik dan harapan-harapan terhadap pemerintah. Dalam aktifitasnya, pemerintah, bukan hanya harus menampakan tindakan yang bersifat evaluatif, tetapi juga harus sejalan dengan prinsip tertinggi atau terdalam yang terkandung dalam konstitusi. Pemerintah harus melakukannya secara sadar dan sukarela, bukan sebaliknya, karena didorong oleh rasa takut mendapat sanksi dari pengadilan.
Penyebutan pengadilan, harus dikembalikan dan atau didasarkan pada sistem ketatanegarannya. Amerika menempatkan pengadilan sebagai institusi satu-satunya yang memonopoli interpretasi atas konstitusi. Tentu berbeda dengan Perancis, yang tidak menempatkan pengadilan sebagai satu-satunya lembaga penafsir konstitusi. Begitu juga Inggris dan Belanda. Karena penempatan hal itu harus dikembalikan dan dimengerti berdasarkan rezim konstitusionalisme yang digariskan dalam konstitusinya.
Seperti halnya konsep konstitusionalisme, kultur konstitusi, terkonsepkan juga sebagai sebuah skema interpretative atas, atau berkorelasi dengan norma, ketentuan-ketentuan, dan praktik-praktik, dari sebagian anggota dari komunitaskomunitas utama dalam satu sistem sosial kemasyarakatan, setidak-tidaknya mengidentifikasi dan memelihara dua level sistem; norms and rules. Sesuai dengan konteksnya, maka kultur, bukan hanya konstitusi, melainkan hukum secara umum, memiliki tingkat keragaman dan kompleksitas tersendiri. Kultur konstitusi harus dilihat dan dimengerti, dengan memahami praktik yang terlembagakan oleh rakyat, dalam mengawasi pemerintahan mereka, daripada memfokuskan perhatian pada teks-teks konstitusi, yang mengatur bagaimana masyarakat politik beroperasi secara aktual, atau bagaimana masyarakat membayangkan bahwa hal itu akan beroperasi. Keragaman interpretasi dan pemahaman, bahkan perbedaan tatanan aturan, yang di dalamnya meliputi konvensi memungkinkan tindakan-tindakan yang bersifat identifikasi terhadap tatanan aturan pada level tertinggi. Yang hendak diidentifikasi adalah: (i) ruang lingkupnya. (ii) pelaksanaan aturan, dan (iii) akibat yang menyertai pelaksanaan aturan tersebut.
Persilangan Kultur Konstitusionalisme: Paradoks
Sejak tahun 1848, kultur hukum kita sudah dibuat terbelakang oleh pemerintah jajahan Belanda. Diawali dengan diberlakukannnya dengan Code du Commerce, selanjutnya ditopang dengan Regering Reglement, 1854. RR, merupakan instrumen untuk memformalisasikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Sesuai dengan politik hukum pada masa itu, perlahan-lahan pemerintah Hindia Belanda membelah, boleh jadi juga mendiversifikasi kultur hukum kita.
Pembelahan awal, adalah pemberlakuannya Agrarische Wet pada 1870. Cukup menarik, pemerintah Hindia Belanda menggunakan azas domein varklaring, di dalam Agrarische Wet itu. Azas ini bertentangan secara diametral dengan filsafat bangsa Indonesia, karena kita menggunakan asas kolektif. Pemilikan atau penguasaan dilakukan secara kolektif. Namun, Belanda tidak mau tahu dengan soal ini. Mereka tidak merasa perlu untuk bertanya lebih dulu kepada orang bumi putra. Satu hal yang sering dilupakan adalah tindakan pemberlakuan Agrarische Wet itu, bukan hanya memberlakukan hukum modern, versi pemerintah Kolonial Belanda, yang berbeda dengan hukum yang berlaku di Hindia Belanda, melainkan pemberlakuan ini, justru merusak nilai-nilai yang diyakini oleh orang bumi putra. Agrarische Wet, sejatinya merupakan ekspresi atas cara pandang orang Belanda, sekurang-kurangnya kaum liberal yang menguasai parlemen Belanda kala itu.
Bukan tidak mengalami penolakan di parlemen, ketika gagasan ini dimunculkan. Akan tetapi, watak kapitalis yang melekat pada gagasan ini memiliki relevansi fungsional dengan tujuan penjajahan, akhirnya gagasan itupun masuk ke Hindia Belanda. Ruh gagasan tersebut membuka jalan bagi kapitalis swasta di negeri Belanda untuk masuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Tentu menguntungkan Belanda.
Sambil tumbuh secara paradoksal, pada tahun 1903 pemerintah Hindia Belanda membuat Decentralische Wet. Undangundang ini, sepintas merupakan suatu terobosan untuk memperkenalkan pemerintahan modern yang sudah lebih dahulu berkembang di Belanda. Akan tetapi, ruhnya adalah memangkas habis pemerintahan tradisional bumi putra kala itu. Kota praja, sebagai anak yang baru lahir dari Decentralische itu, lama-kelamaan tumbuh, tentu untuk dan demi kepentingan pemerintah Hindia Belanda, muncul beberapa provinsi. Seperti halnya, Agrarische Wet, Decentralische Wet pun menyembunyikan, namun tetap dalam kerangka politik hukum pemerintah Belanda, adalah memecah dan mengontrol, serta melunakan orang-orang bumi putra terhadap kejelekan pemerintahan kaum penjajah. Untuk keperluan melengkapi struktur organisasi pemerintahan kota praja inilah, pemerintah Hindia Belanda harus membentuk lembaga-lembaga peradilan. Peradilan landraad harus dibaca dalam kerangka ini. Betapapun peradilan ini diperuntukan bagi golongan bumi putra, tak dapat disangkal, peradilan ini merupakan perwujudan politik diskriminasi, dengan dalih pribumisasi pengadilan.
Akulturasi, atau transplantasi hukum model ini, diakui, ambil misalnya Lev, sebagai suatu politik yang membelakangi realitas. Tidak salah, kalau Sutandyo Wignjosoebroto menilainya sebagai politik transplantasi yang tidak selalu membuahkan hasil yang baik. Betapapun kegagalan itu, dari waktu ke waktu semakin nyata, Belanda memilih jalan lain. Jalan itu diberi nama jalan etik politik etik balas budi. Namun, sebagaimana biasanya, politik inipun menyembunyikan tujuan yang sebenarnya; melanggengkan kekuasaan penjajah di bumi ini. Dengan politik itu, walaupun berhasil melahirkan segelintir orang menjadi orang sekolahan, bahkan bersekolah di negeri Belanda, diharapkan secara perlahan-lahan kita mau menjadi bagian integral dari kerajaan Belanda. Jauh sebelum pengadilan atas orator ulung, Bung Karno, sosok yang tumbuh dalam perjuangannya dengan politik non koperatif, sebagai sebuah tren umum, karena dijadikan platform oleh Indische studie club, Algemene Studie Club, Perhimpunan Pelajar Indonesia, dipenghujung tahun 1920-an dan permulaan tahun 1930-an, yang merupakan motor pencerahan kala itu, hukum ditampakan secara nyata cuma sebagai alat kekuasaan kaum penjajahan. Apa yang dialami oleh Bung Karno dalam Pengadilan di Sukamiskin Bandung adalah bukti; hukum dan pengadilan cuma alat kekuasaan. Tak heran pula, kalau pada tahun-tahun sesudah itu, Bung Hatta, secara lantang mengeritik watak otoritas pemerintahan Hindia Belanda. Hatta, menilai apa yang digembar-gemborkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintahan yang didasarkan pada hukum rule of law, justru sebaliknya rule by law. Hartzai artikelen, yang anehnya masih dipertahankan sampai saat ini, oleh Hatta, orang yang kemudian dalam masa kemerdekaan memperoleh Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu hukum, sebagai pasal yang membunuh orang bumi putra.
Periode penjajahan, berakhir dengan paradoks kultur hukum. Pemberlakuan hukum-hukum modern, dengan pranata modern ala Belanda, bukan cuma gagal, akan tetapi memporak-porandakan nilai, orientasi dan ekspektasi orang bumi putra tentang ideal-ideal kultur hukum yang pantas untuk ditumbuhkan. Konvigurasi Sesudah Kemerdekaan
Babakan 1945-1960: Awal Kekacauan
Memaknai kemerdekaan dengan apapun, tentu saja benar, tergantung bagaimana lensa paradigma yang digunakannya. Dilihat dari kacamata Hukum Tata Negara, peristiwa tanggal 17 Agustus 1945, adalah suatu pernyataan tentang pemutusan tata hukum lama dan pada saat yang muncul tata hukum baru. Perkara kita masih tetap menggunakan sebagian besar hukum produk pemerintah Hindia belanda, itu adalah soal lain. Soal ini menyangkut politik hukum pemerintah kita.
Mungkin tidak terlalu simetris, akan apa yang terjadi di Perancis, dalam batas tertentu, dapat digunakan untuk menerangkan gejala kita di atas. Code du Commerce dan Code Penal di Perancis sesudah kemerdekaan, baru berhasil dibentuk beberapa tahun sesudah pernyataan kemerdekaan. Roberspire, yang memerintah Perancis segera setelah pernyataan kemerdekaan tidak berhasil melakukannya. Pemerintahannya, malah dianggap sebagai pemerintahan teror, karena keangkuhan golongan jakobin, golongan yang dianggap sebagai pemenang dalam pertarungan menjelang kemerdekaan.
Menyelami tahun-tahun awal pemerintahan kita, betapapun tidak sedikit ahli tata negara dan politik, menerimanya sebagai hal yang biasa-biasa saja, namun harus diakui, pergantian sistem pemerintahnan dari Presidensial model UUD 1945 (sebelum diubah) menjadi sistem pemerintahan parlementer, merupakan sesuatu yang berandil besar, dalam menentukan jalannya pertumbuhan kultur hukum kita.
Di usia yang begitu muda, dengan alasan-alasan yang luar biasa rasionalnya, bila dilihat konteks sosial politiknya, kita menorehkan kultur hukum yang kurang bagus, demi efektifitas usaha meyakinkan dunia Internasional, sekurangkurangnya, itulah pikiran terbuka Bung Sjahrir pemerintahan presidensial ditingggalkan. Sebagai gantinya adalah pemerintahan parlementer. Itulah yang terjadi pada tanggal 14 November 1945. Tanggal ini adalah tanggal diresmikannya pemberlakuan pemerintanan parlementer. Sjahrir pun ditunjuk oleh Bung Karno menjadi perdana menteri pertama dalam sejarah pemerintahan parlementer kita. Hanya dan demi eksistensi negara yang baru diproklamirkan, tidak seorang pun, dalam pandangan ilmiahnya, yang mengkualifikasi tindakan pergeseran pemerintahan itu, sebagai awal kemunculan budaya hukum yang tidak menghargai konstitusi. Pesan hukum konstitusi yang begitu jelas, dikesampingkan begitu saja. Dalil konvensi yang dipakai untuk menjelaskan soal itu, bagi saya terlampau berlebihan. Konvensi, dalam maknanya yang hakiki, bukanlah sesuatu praktik yang menginjak-injak ketentuan konstitusi. Praktik Amerika Serikat, sebagaimana sudah disebutkan di muka, bukanlah suatu praktik yang menginjak-injak konstitusi. Praktik mereka adalah memboboti kehidupan bernegara dengan nilai-nilai dasar konstitusi.
Paradoks lagi, itulah yang dapat dkatakan untuk melukiskan perkembangan kultur konstitusionalisme muda kala itu. Betapa tidak, di usia yang begitu muda, muncul gagasan-gagasan yang menurut saya sangat cemerlang. Kecemerlangannya, ditandai oleh dua peristiwa hukum. Pertama, maklumat Wakil Presiden untuk membuka ruang ketatanegaraan bagi tumbuhnya partai politik. Mengagumkan, mereka menolak partai tunggal. Kedua, walaupun begitu sederhana pikiran dasarnya, namun mengalih-fungsikan Komite Nasional Indonesia Pusat, sambil menunggu pembentukan MPR, dijadikan badan legislatif, adalah tindakan yang sangat maju dilihat sudut pandang konstitusionalisme. Pengalih-fungsian KNIP dari badan pembantu Presiden menjadi badan legislatif, sesungguhnya sangat sejalan dengan gagasan dasar konstitusionalisme, yaitu membatasi kekuasaan presiden. Tujuannya adalah agar kekuasaan tidak ber-evolusi menjadi kekuasaan tanpa batas. Inilah yang mengagumkan.
Sambil jalan, dan seolah telah terlatih pada periode paling awal ini, pemerintahan-pemerintahan parlementer periode 1950-1959, menandai sebuah periode paling menjengkelkan. Selalu saja tersedia alasan untuk gonta-ganti kabinet. Fakta itu, cukuplah untuk ditandai sebagai bukti empirik, betapa rapuhnya kultur konstitusionalisme dalam periode ini. Praktik politik tidak berkembang paralel dengan kebutuhan untuk mengembangkan sebuah budaya hukum. Praktik pengelolaan negara menjadi tidak efektif, apalagi mengkonsolidasi pertumbuhan gagasan-gagasan dasar konstitusionalisme. Padahal, sebagaimana pada periode awal kemerdekaan, pada fase ini terdapat beberapa fenomena yang mengagumkan juga. Tindakan hukum yang tidak pandang bulu, tetap masih dapat tumbuh. Jaksa Agung Suprapto, begitu kokoh sebagai pengawal hukum. Menteri pun dibawa ke pengadilan. Mengagumkan betul. Tetapi itu pulalah yang menjadi paradoksnya.
Babakan 1960-1998: Puncak Kemerosotan Konstitusionalisme
Seolah menjadi tiupan sangkakala, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, mematikan semua ekspektasi, minimal sekalipun, ide-ide konstitusionalisme. Segera setelah dekrit, dengan penuh keyakinan keadaan ketatanegaraan, berada dalam situasi darurat. Revolusi pun memperoleh tempat basah. Untuk dan atas nama Revolusi yang selalu saja dianggap belum selesai, hukum revolusi pun diberlakukan. Perlahan, tapi pasti, tata hukum yang telah terkonsepkan sebagai tata hukum revolusi, dan memperoleh dukungan dari sebagian ahli hukum yang sangat idiologikal, loyal pada Bos revolusi, ide hukum revolusi mengambil bentuk yang nyata. Tak berapa lama, hukum revolusi pun menentukan mangsanya, dan segera saja memangsainya.
Dewan Perwakilan Rakyat, hasil pemilu 1955, yang diakui secara jujur oleh semua ilmuwan sebagai pemilu paling spektakuler, karena berlangsung ditengah situasi kita belum terlatih dengan ihwal pilih-memilih, apalagi tingkat pendidikan yang begitu rendah, dan alat komunikasi yang masih primitif, harus bubar. Penyebabnya sederhana sekali. DPR menolak RAPBN yang diajukan oleh pemerintah. Padahal ini adalah hak konstitusionalnya. Presiden tahu soal ini. Tapi, demi dan atas nama revolusi yang belum selesai, dan sesuai dengan tuntutan logika revolusi, diperlukan tindakan revolusioner. DPR akhirnya dibubarkan. Lahirlah kemudian DPR-GR. Sebelumnya penguasa terlebih menciptakan situasi politik yang sangat ketat, karena pengawasan pemerintah. Pertemuan politik harus dibekali dengan izin. Tanpa izin dari penguasa, pertemuan, apapun tujuannya akan dibubarkan. Dalam perkembangan yang begitu cepat, setelah DPR, moncong politik selanjutnya diarahkan ke partai-partai. Partai Masyumi, sebuah partai yang dikenal gigih dan sangat kokoh berdiri di atas landasan konstitusionalisme, menjadi target tembakan politik yang mematikan. Dengan alasan yang dicari-cari, Masyumi diminta untuk membubarkan diri atau akan dibubarkan. Masyumi akhirnya mengalami dikirimi surat yang substansinya adalah meminta untuk membubarkan diri. Respon Masyumi sangat menarik. Masyumi memperkarakan tindakan Presiden yang meminta pembubaran itu. Sayang sekali, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Raya, saya lupa namanya, menolak memeriksa dan mengadili perkara itu. Alasannya begitu sederhana, yaitu bukan masalah hukum. Andaikan saja, Ketua pengadilan memiliki nyali sebagai pengawal keadilan, dan apalagi sebagai pengawal bangsa, perkara ini akan menjadi titik tumbuhnya kultur konstitusionalisme Indonesia. Bagaimana tidak? Tindakan Presiden dinilai oleh pengadilan. Andaikan pula, pengadilan menyatakan perbuatan Presiden bersifat melawan hukum, pasti akan menjadi putusan yang bernilai sangat tinggi dalam perspektif konstitusionalisme.
Selain DPR, Masyumi, dan larang-larangan atas kegiatan politik tertentu, pemerintah memenjarakan sejumlah warga negara yang berbeda haluan politiknya. Interpretasi atas konstitusi yang bersifat manipulatif, juga digunakan oleh pemerintah dalam memenjarakan Kasman Singadimedjo, Sjahrir, Yunan Nasution, dan beberapa yang lainnya. Praktik pada bidang lainnya, ambil misalnya di bidang ekonomi pun tidak berbeda.
Rezim Bung Karno, jelas bukan rezim konstitusional. Tak mengherankan, rakyat bergembira ketika pada tahun 1966, muncul orde baru, yang retoris digembar-gemborkan sebagai Orde Konstitusional. Tepi, faktanya orde bikinan Presiden murah senyum, Soeharto, pada level tertentu cukup mengerikan, walaupun pada bidang lainnya, prestasinya begitu hebat. Di bidang pembangunan, rezim ini benar-benar hebat. Tidak sedikit Masjid dibangun, tak terhitung berapa milyar kilo meter jalan dan jembatan dibangun, kapal laut dan pesawat terbang juga dibuat. Tak terhitung pula, berapa trilyunan rupiah dipakai untuk menyubsidi minyak, beras dan lainnya, demi kesejahteraan rakyat. Tak terhitung juga berapa banyak SD Inpres dibangun, sama halnya dengan Puskesmas. Orde Baru jago di bidang ini. Tetapi pada bidang lain, Orde Baru, jelas mengerikan dan menakutkan. Integralistik, yang diselami orde ini, melahirkan pembenaran untuk menolak perbedaan pendapat, membenarkan tindakan sewenang-wenang, dalam semua bidang kehidupan, hukum politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan landasan integralistik, Presiden murah senyum ini, muncul seolah-olah sebagai raja. Negara seolah identik dengannya. Tidak ada yang dapat menolak kemauannya. MPR, yang secara tekstual berada di atas Presiden, ternyata cuma jadi tukang stempel paling terlatih, begitu juga DPR.
Hukum cuma jadi alat, begitu peradilan. Ismail Suny, Adnan Buyung Nasution, Princen, Mochtar Lubis, dan beberapa anak muda yang cerdas dan jujur, ambil misalnya Hariman Siregar, begitu juga Sjahrir dipenjarakan tanpa proses pengadilan yang fair. Kebiasaan buruk yang diawali pada tahun 1974 terus dilanjutkan. Terlalu kasar, diujung kejayaannya, entah demi negara atau dirinya sendiri atau keluarganya, Presiden murah senyum ini membenarkan tindakan sewenang-wenang terhadap sejumlah anak muda. Anak-anak muda, yang dinilai sebagai tukang bikin onar negara, padahal mungkin saja cuma memusingkan dirinya, keluarganya atau konco-konco ekonominya, ditangkap dan disekap. Sebagian telah bebas, tetapi sebagian lagi wallahu alam, tak jelas rimbanya. Kalau sudah meninggal, kapan meninggalnya. Kalau sudah dikuburkan, dimana kuburannya, kalau masih hidup dimana pula tempat tinggalnya. Semuanya kabur. Prestasi gemilang lainnya yang dicapai oleh rezim Soeharto, adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Berlandaskan pada interpretasi integralistik, rezim ini tepo seliro kepada yang berbuat keliru. Feodalisasi negara yang dibangunnya, menyulitkan penegakan hukum, dan perwujudan keadilan dalam semua dimensi kehidupan. Ekspektasi rezim ini bersifat ganda dan tidak masuk akal. Ide-ide dasar yang berkembang dalam perdebatan pembentukan UUD 1945, diselami dan dianut secara sepotong-sepotong. Integralistik, misalnya hanyalah satu ide dasar, bukan satusatunya ide. Gagasan yang dikemukakan oleh Muh. Yamin dan Moh Hatta, tentang hak asasi manusia, tidak pernah disentuh sama sekali. Karena dianggap mewakili nilai barat, HAM dinomorduakan, kecuali sejalan dengan kebutuhan pembangunan.
Singkatnya, babakan 1960-1998 merupakan babakan kehancuran kultur konstitusionalisme. Manipulasi atas semangat, norma dan aturan konstitusi terjadi begitu terbuka. Orde Lama dan Orde Baru sama-sama menggunakan cara seperti itu. Namun alasannya berbeda. Kedua orde ini, tepat dikategori sebagai non constitutional government, atau otoritarian government, dengan Bung Karno dan Pak Harto sebagai sumber dari segala sumber, bukan konstitusi itu sendiri. Karena personalisasi keduanya, dengan level yang berbeda-beda, interpretasi atas konstitusi, dalam banyak hal memunculkan nuansa feodal. Feodalisasi, boleh jadi disadari oleh keduanya, akhirnya merupakan buah atas interpretasi ide-ide konstitusi 1945. Hasil akhirnya adalah hancurnya budaya berkonstitusi di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kehidupan politik dan konstitusi sejak tahun 1960-1966, jelas menutup jalan ke kultur konstitusionalisme.
Pergeseran Pemahaman: Mekar Lagi Konstitusionalisme Kita Ketika Pak Harto, mantan Presiden RI yang murah senyum itu, berkali-kali ditetapkan menjadi presiden, ahli hukum, politik dan sebagian fungsionaris partai politik, menandai tidak adanya ketentuan yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden sebagai penyebabnya. Padahal Amerika Serikat baru memiliki ketentuan yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden pada tahun 1952. Sebelumnya, sama sekali tidak ada ketentuan itu, persis seperti kita. George Washington-lah yang memulai meletakan fundasinya. Dengan sukarela ia mundur dari pencalonannya untuk ketiga kalinya. Apa yang dilakukan oleh Washington, menjadi tradisi konstitusionalisme yang bagus. Tradisi berlanjut terus, sampai nanti Franklin Delano Rosevelt menjadi presiden. Bahkan fenomena Rosevelt inilah yang merangsang rakyat Amerika Serikat memikirkannya. Kongres pun meresponnya dengan membuat aturan - amandment membatasi masa jabatan presiden.
Terabaikannya ketentuan yang secara exprecis verbis mengatur suatu atau beberapa soal, mestilah tidak dimanfaatkan untuk mengacaukan gagasan konstitusionalisme para pendiri negara. Sebab teks-teks konstitusi, tidak pernah terbentuk tanpa didahului argumen-argumen yang menyertainya. Biasanya argumen-argumen ini sangat mendasar, Komprehensif serta menembus waktu. Kalau hal ini dimengerti oleh para penyelenggara negara, sebagaimana dilakukan oleh Washington, maka Pak Harto pasti dengan sukarela mau untuk tidak menjadi presiden berulang-ulang kali. Dengan interpretasinya yang khas, dipadukan dengan praktiknya yang ketat, itulah yang menghasilkan kehancuran kultur konstituisi pada masanya. Mengerti dan memahami teks pasal saja tidaklah cukup, walaupun tetap menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Mengerti teks, haruslah meliputi atau menembus kotak hitam di belakangnya, yang berisi metavalue-meta ide menyangkut semangat yang melandasi teks itu. Memahami semangat teks, tidak dapat dibatasi sebatas argumenargumen yang langsung berkaitan dengan satu pasal. Sebagai suatu sistem, pasal-pasal dalam UUD, merupakan pengembangan lebih jauh dari prinsip dasar yang lebih tinggi.
Prinsip dasar konstitusi Amerika Serikat misalnya, adalah jaminan dan perlindungan terhadap hak individu. Prinsip dasar ini yang dikembangkan ke dalam berbagai aspek. Pengorganisasian kekuasaan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan, tidak lain merupakan perwujudan gagasan dasar itu secara lebih instrumental dan operasional. Inilah yang digunakan, oleh, misalnya John Marshal, Chief of Supreme Court, dalam menyelesaikan sengketa antara Marbury versus Madison. Dengan berdiri di atas dan menyelami gagasan tentang penolakan terhadap tirani, yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari penghargaan atas hak-hak individu, maka Marshal sampai pada kesimpulan, bahwa tindakan yang dikenakan pemerintah kepada Marbury bersifat inkonstitusional.
Kembali ke Indonesia, khususnya pasca perubahan UUD 1945. Kultur konstitusi macam apakah yang harus dikembangkan setelah perubahan UUD 1945? Sama seperti UUD 1945 sebelum diubah, tidak ditemukan satupun teks konstitusi yang mengatur misalnya tentang keterbukaan, pemerintahan yang bertanggung jawab, akuntabilitas, dan lainnya. Yang ditemukan adalah pembatasan masa jabatan presiden, perubahan cara pengisian jabatan presiden, demikian juga cara pengisian keanggotaan DPR dan MPR, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, pengisian jabatan jabatan hakim agung, dan sebagainya.
Konstitusionalisme yang sedang tumbuh pada saat ini, yang berawal pada tahun 1998, tepatnya sejak siding istimewa MPR, menandai pergeseran yang signifikan. Hal itu terlihat pada produk-produk hukum sidang istimewa itu. Dilihat dari sudut pandang kajian tentang konstitusionalisme, apa yang dihasilkan dalam Sidang Istimewa itu, memperlihatkan secara ekspresif munculnya nilai, orientasi dan harapan baru. Semuanya bermuara pada pembentukan pemerintahan yang bertanggung jawab. Perintah yang ditujukan kepada pemerintah untuk mengoreksi praktik penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat kolutif, koruptif, dan nepotisme, begitu juga terhadap sentralisasi versi UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, adalah sebagian buktinya.
Drama pergeseran ini, ternyata, hanya menjadi batu loncatan untuk perubahan yang lebih dramatis, setahun kemudian. UUD 1945, yang pada masa Orde Baru, diperlakukan sebagai barang keramat, bukan hanya diubah, melainkan direform. Sangat mengagumkan, karena tidak sedikit nilai, yang pada tahun 1945, sebagian ditolak atau diterima secara samar-samar, justru dibuat jelas. Kekuasaan Presiden yang seolah tanpa batas, dilakukan pembatasan, system pemerintahan, prinsip check and balances, susunan pemerintahan, wewenang MPR, kekuasaan DPR, bahkan muncul lembaga baru dalam struktur MPR kita, eksistensi Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, kekuasaan kehakiman, hak asasi manusia, semuanya mengalami pergeseran. Secara tegas prinsip-prinsip tersebut diatur masukan ke dalam UUD 1945. Mengagumkan. Tetapi jangan buru-buru berhenti memberikan perhatian yang bersifat kritis. Bila dilihat dari sudut gagasan konstitusionalisme, khususnya aspek constitutional reform, apa yang sudah terjadi barulah berada atau menyentuh level political game. Level ini merupakan, perwujudan permainan pada level tertinggi, karena, mungkin mereka tidak setuju,
tetapi pasti sulit ditolak, adanya soal memuaskan konstituensi. Sebagaimana sudah dikemukakan pada awal kajian ini, masih harus ditunggu bagaimana interpretasi para penyelenggara kekuasaan negara terhadap konstitusi. Bagaimana pula mereka mempraktikan norma dan aturan-aturan itu. Pemerintahan yang bertanggung jawab, sering disebut constitutional government, sering dipertukarkan dengan constitutional democratic, bukanlah barang yang sekali jadi. Kudeta di Thailand, tentu hanya satu bukti. Padahal para ahli yang mengkaji perubahan dramatis dari pemerintahan otoriter ke konstitusional, pernah menunjuk apa yang dicapai Thailand sebagai suatu lompatan mengagumkan dalam pertumbuhan constitutional government. Tertatih-tatihnya kita dalam memberantas korupsi, me-reformasi birokrasi, menempatkan hukum sebagai panglima, masih harus diusahakan secara sistematis. Energi yang sudah tertumpah, sejauh ini belum cukup mengantarkan kita ke pintu gerbang pemerintahan yang efektif dan efisien. Good administration, sebagai satu elemen kunci dalam good governance, masih harus diusahakan pula. Masalahnya, semua soal ini memiliki tali-temali yang saling berkorelasi, dan muncul sebagai sebuah lingkaran yang utuh. Semua simpulnya harus digarap, agar menghasilkan sesuatu yang bermakna. Good administration, hanya dapat diciptakan kalau tersedia aparatur yang berprilaku baik good behaviour.
Hukum, akan menjadi supreme, kalau aparatnya bersih, baik moral maupun intelektualnya. Hanya dengan aparatur semacam itulah, hukum tidak akan sedikit sulit dibengkokan untuk tujuan-tujuan yang tidak pantas .
Semua masalah tersebut, akhirnya dipecahkan dengan satu formula, yaitu diatur dalam konstitusi. Karena sulitnya mengatur secara rinci batas-batas pembagian kekuasaan, dan hal lainnya secara rigid, maka hanya prinsip-prinsipnya saja yang diatur. Masalah ikutan yang muncul adalah, bagaimana membuat jaminan agar ketentuan-ketentuan dalam konstitusi akan ditaati. Untuk masalah ini dipecahkan dengan kesepakatan konstitusi disifatkan sebagai Law of the Land. Takrif sederhananya adalah konstitusi berlaku untuk seluruh wilayah, dan konstitusi merupakan hukum tertinggi yang berlaku dalam negara. Keteguhan untuk taat pada konstitusi, dengan menempatkannya sebagai hukum tertinggi dalam sistem, bukan hanya hukum, melainkan juga politik, bahkan dalam kehidupan berekonomi, itulah yang kemudian bermetamorfosa dan memunculkan isme tentang konstitusi.
Apa yang hendak dijadikan rujukan untuk mengatur penyelenggaraan negara? Ketentuan-ketentuan yang bersifat tertulis secara tegas dalam konstitusi yang dijadikan pedoman? Faktanya adalah negatif. Akan tetapi hal itu tidak dapat diartikan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak dipedomani. Yang dipedomani justru hal yang jauh lebih fundamental, yaitu nilai-nilai yang melandasi setiap pasal konstitusi. Para penyelenggara pemerintahan dari seluruh cabang kekuasaan justru menyelami setiap dimensi pemikiran dasar yang membentuk pasal atau suatu ketentuan. Itulah yang dilakukan.
Terdapat beberapa peristiwa yang membuktikan bahwa para penyelenggara menyelami ide-ide dasar yang melandasi setiap pasal, ketika menghadapi suatu peristiwa ketatanegaraan, yang tidak memiliki landasan hukum secara terang. Peristiwa pertama adalah ketidak-sediaan George Washington untuk kembali dipilih menjadi presiden. Bagi George,kekuasaan yang terlalu lama akan memunculkan kembali feodalisme. Kekuasaan pun menjadi tak terbatas. Padahal inilah yang secara tegas ditolak oleh Thomas efferson, tatkala membahas konstitusi. Peristiwa kedua yang cukup spektakuler adalah penyelesaian kasus penolakan pengangkatan terhadap William Marbury menjadi hakim, setelah terpilih, pada akhir masa jabatan John Adam. John Marsal, Chief of Supreme Court, harus menyelami pikiran-pikiran dasar yang berkembang pada saat pembahasan konstitusi dalam menyelesaikan kasus. Hasil penyelidikan terhadap gagasan dasar yang berkembang pada saat pembahasan konstitusi, mengantarkan Marshal pada kesimpulan bahwa tindakan penolakan terhadap Marbury merupakan tindakan inkonstitusional. Menurut Marbury, ide dasar yang berkembang pada saat pembentukan konstitusi, tentu yang berhasil ditemukan selama bertahun menyelami perkara itu, adalah kuatnya ide para pembentuk konstitusi untuk mencegah timbulnya tirani. Tirani, sebagaimana diyakini Thomas Jefferson, John Jay, Hamilton dan beberapa yang lainnya, dipercaya sebagai pangkal timbulnya ketidak-adilan.
Dari waktu ke waktu dalam perkembangan penyelenggaraan pemerintahannya, setiap kali terjadi persoalan-persoalan, terutama dibidang ekonomi, selalu dikembalikan pada ide dasar yang berkembang dalam pembahasan konstitusi. Misalnya doktrin tentang keagungan nilai-nilai individual, yang merupakan bagian penting dari hak asasi manusia,
diterjemahkan demikian kuat, ketat dan kaku, ke dalam doktrin kebebasan berkontrak. Doktrin ini berakibat, pemerintah tidak bisa ikut campur dalam urusan kontrak. Namun tatkala terjadi depresi ekonomi pada tahun 1930-an, doktrin ini pun perlahan ditinggalkan. Pada tahun ini pula berkembang doktrin baru yaitu, substance due process of law, di samping due process of law itu sendiri.
Gambaran sekilas tentang pertumbuhan praktek bernegara, khususnya pelembagaan dan ketaatan terhadap konstitusi, menunjukan suatu proses bagaimana semestinya mesti ditemukan. Dalam beberapa kajian mutakhir, konsep konstitusionalisme, dimengerti sebagai proses yang meliputi aspek-aspek sejarah dan kultur interpretasi atas teks, meliptui pula konteks keberlakuan teks itu sendiri. Konstitusionalisme, dalam konteks ini dapat diinterpretasi sebagai sebuah sistem yang memungkinkan berkembangnya interpretasi atas ketentuan-ketentuan konstitusi, termasuk di dalamnya praktik dan harapan-harapan terhadap pemerintah. Dalam aktifitasnya, pemerintah, bukan hanya harus menampakan tindakan yang bersifat evaluatif, tetapi juga harus sejalan dengan prinsip tertinggi atau terdalam yang terkandung dalam konstitusi. Pemerintah harus melakukannya secara sadar dan sukarela, bukan sebaliknya, karena didorong oleh rasa takut mendapat sanksi dari pengadilan.
Penyebutan pengadilan, harus dikembalikan dan atau didasarkan pada sistem ketatanegarannya. Amerika menempatkan pengadilan sebagai institusi satu-satunya yang memonopoli interpretasi atas konstitusi. Tentu berbeda dengan Perancis, yang tidak menempatkan pengadilan sebagai satu-satunya lembaga penafsir konstitusi. Begitu juga Inggris dan Belanda. Karena penempatan hal itu harus dikembalikan dan dimengerti berdasarkan rezim konstitusionalisme yang digariskan dalam konstitusinya.
Seperti halnya konsep konstitusionalisme, kultur konstitusi, terkonsepkan juga sebagai sebuah skema interpretative atas, atau berkorelasi dengan norma, ketentuan-ketentuan, dan praktik-praktik, dari sebagian anggota dari komunitaskomunitas utama dalam satu sistem sosial kemasyarakatan, setidak-tidaknya mengidentifikasi dan memelihara dua level sistem; norms and rules. Sesuai dengan konteksnya, maka kultur, bukan hanya konstitusi, melainkan hukum secara umum, memiliki tingkat keragaman dan kompleksitas tersendiri. Kultur konstitusi harus dilihat dan dimengerti, dengan memahami praktik yang terlembagakan oleh rakyat, dalam mengawasi pemerintahan mereka, daripada memfokuskan perhatian pada teks-teks konstitusi, yang mengatur bagaimana masyarakat politik beroperasi secara aktual, atau bagaimana masyarakat membayangkan bahwa hal itu akan beroperasi. Keragaman interpretasi dan pemahaman, bahkan perbedaan tatanan aturan, yang di dalamnya meliputi konvensi memungkinkan tindakan-tindakan yang bersifat identifikasi terhadap tatanan aturan pada level tertinggi. Yang hendak diidentifikasi adalah: (i) ruang lingkupnya. (ii) pelaksanaan aturan, dan (iii) akibat yang menyertai pelaksanaan aturan tersebut.
Persilangan Kultur Konstitusionalisme: Paradoks
Sejak tahun 1848, kultur hukum kita sudah dibuat terbelakang oleh pemerintah jajahan Belanda. Diawali dengan diberlakukannnya dengan Code du Commerce, selanjutnya ditopang dengan Regering Reglement, 1854. RR, merupakan instrumen untuk memformalisasikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Sesuai dengan politik hukum pada masa itu, perlahan-lahan pemerintah Hindia Belanda membelah, boleh jadi juga mendiversifikasi kultur hukum kita.
Pembelahan awal, adalah pemberlakuannya Agrarische Wet pada 1870. Cukup menarik, pemerintah Hindia Belanda menggunakan azas domein varklaring, di dalam Agrarische Wet itu. Azas ini bertentangan secara diametral dengan filsafat bangsa Indonesia, karena kita menggunakan asas kolektif. Pemilikan atau penguasaan dilakukan secara kolektif. Namun, Belanda tidak mau tahu dengan soal ini. Mereka tidak merasa perlu untuk bertanya lebih dulu kepada orang bumi putra. Satu hal yang sering dilupakan adalah tindakan pemberlakuan Agrarische Wet itu, bukan hanya memberlakukan hukum modern, versi pemerintah Kolonial Belanda, yang berbeda dengan hukum yang berlaku di Hindia Belanda, melainkan pemberlakuan ini, justru merusak nilai-nilai yang diyakini oleh orang bumi putra. Agrarische Wet, sejatinya merupakan ekspresi atas cara pandang orang Belanda, sekurang-kurangnya kaum liberal yang menguasai parlemen Belanda kala itu.
Bukan tidak mengalami penolakan di parlemen, ketika gagasan ini dimunculkan. Akan tetapi, watak kapitalis yang melekat pada gagasan ini memiliki relevansi fungsional dengan tujuan penjajahan, akhirnya gagasan itupun masuk ke Hindia Belanda. Ruh gagasan tersebut membuka jalan bagi kapitalis swasta di negeri Belanda untuk masuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Tentu menguntungkan Belanda.
Sambil tumbuh secara paradoksal, pada tahun 1903 pemerintah Hindia Belanda membuat Decentralische Wet. Undangundang ini, sepintas merupakan suatu terobosan untuk memperkenalkan pemerintahan modern yang sudah lebih dahulu berkembang di Belanda. Akan tetapi, ruhnya adalah memangkas habis pemerintahan tradisional bumi putra kala itu. Kota praja, sebagai anak yang baru lahir dari Decentralische itu, lama-kelamaan tumbuh, tentu untuk dan demi kepentingan pemerintah Hindia Belanda, muncul beberapa provinsi. Seperti halnya, Agrarische Wet, Decentralische Wet pun menyembunyikan, namun tetap dalam kerangka politik hukum pemerintah Belanda, adalah memecah dan mengontrol, serta melunakan orang-orang bumi putra terhadap kejelekan pemerintahan kaum penjajah. Untuk keperluan melengkapi struktur organisasi pemerintahan kota praja inilah, pemerintah Hindia Belanda harus membentuk lembaga-lembaga peradilan. Peradilan landraad harus dibaca dalam kerangka ini. Betapapun peradilan ini diperuntukan bagi golongan bumi putra, tak dapat disangkal, peradilan ini merupakan perwujudan politik diskriminasi, dengan dalih pribumisasi pengadilan.
Akulturasi, atau transplantasi hukum model ini, diakui, ambil misalnya Lev, sebagai suatu politik yang membelakangi realitas. Tidak salah, kalau Sutandyo Wignjosoebroto menilainya sebagai politik transplantasi yang tidak selalu membuahkan hasil yang baik. Betapapun kegagalan itu, dari waktu ke waktu semakin nyata, Belanda memilih jalan lain. Jalan itu diberi nama jalan etik politik etik balas budi. Namun, sebagaimana biasanya, politik inipun menyembunyikan tujuan yang sebenarnya; melanggengkan kekuasaan penjajah di bumi ini. Dengan politik itu, walaupun berhasil melahirkan segelintir orang menjadi orang sekolahan, bahkan bersekolah di negeri Belanda, diharapkan secara perlahan-lahan kita mau menjadi bagian integral dari kerajaan Belanda. Jauh sebelum pengadilan atas orator ulung, Bung Karno, sosok yang tumbuh dalam perjuangannya dengan politik non koperatif, sebagai sebuah tren umum, karena dijadikan platform oleh Indische studie club, Algemene Studie Club, Perhimpunan Pelajar Indonesia, dipenghujung tahun 1920-an dan permulaan tahun 1930-an, yang merupakan motor pencerahan kala itu, hukum ditampakan secara nyata cuma sebagai alat kekuasaan kaum penjajahan. Apa yang dialami oleh Bung Karno dalam Pengadilan di Sukamiskin Bandung adalah bukti; hukum dan pengadilan cuma alat kekuasaan. Tak heran pula, kalau pada tahun-tahun sesudah itu, Bung Hatta, secara lantang mengeritik watak otoritas pemerintahan Hindia Belanda. Hatta, menilai apa yang digembar-gemborkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintahan yang didasarkan pada hukum rule of law, justru sebaliknya rule by law. Hartzai artikelen, yang anehnya masih dipertahankan sampai saat ini, oleh Hatta, orang yang kemudian dalam masa kemerdekaan memperoleh Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu hukum, sebagai pasal yang membunuh orang bumi putra.
Periode penjajahan, berakhir dengan paradoks kultur hukum. Pemberlakuan hukum-hukum modern, dengan pranata modern ala Belanda, bukan cuma gagal, akan tetapi memporak-porandakan nilai, orientasi dan ekspektasi orang bumi putra tentang ideal-ideal kultur hukum yang pantas untuk ditumbuhkan. Konvigurasi Sesudah Kemerdekaan
Babakan 1945-1960: Awal Kekacauan
Memaknai kemerdekaan dengan apapun, tentu saja benar, tergantung bagaimana lensa paradigma yang digunakannya. Dilihat dari kacamata Hukum Tata Negara, peristiwa tanggal 17 Agustus 1945, adalah suatu pernyataan tentang pemutusan tata hukum lama dan pada saat yang muncul tata hukum baru. Perkara kita masih tetap menggunakan sebagian besar hukum produk pemerintah Hindia belanda, itu adalah soal lain. Soal ini menyangkut politik hukum pemerintah kita.
Mungkin tidak terlalu simetris, akan apa yang terjadi di Perancis, dalam batas tertentu, dapat digunakan untuk menerangkan gejala kita di atas. Code du Commerce dan Code Penal di Perancis sesudah kemerdekaan, baru berhasil dibentuk beberapa tahun sesudah pernyataan kemerdekaan. Roberspire, yang memerintah Perancis segera setelah pernyataan kemerdekaan tidak berhasil melakukannya. Pemerintahannya, malah dianggap sebagai pemerintahan teror, karena keangkuhan golongan jakobin, golongan yang dianggap sebagai pemenang dalam pertarungan menjelang kemerdekaan.
Menyelami tahun-tahun awal pemerintahan kita, betapapun tidak sedikit ahli tata negara dan politik, menerimanya sebagai hal yang biasa-biasa saja, namun harus diakui, pergantian sistem pemerintahnan dari Presidensial model UUD 1945 (sebelum diubah) menjadi sistem pemerintahan parlementer, merupakan sesuatu yang berandil besar, dalam menentukan jalannya pertumbuhan kultur hukum kita.
Di usia yang begitu muda, dengan alasan-alasan yang luar biasa rasionalnya, bila dilihat konteks sosial politiknya, kita menorehkan kultur hukum yang kurang bagus, demi efektifitas usaha meyakinkan dunia Internasional, sekurangkurangnya, itulah pikiran terbuka Bung Sjahrir pemerintahan presidensial ditingggalkan. Sebagai gantinya adalah pemerintahan parlementer. Itulah yang terjadi pada tanggal 14 November 1945. Tanggal ini adalah tanggal diresmikannya pemberlakuan pemerintanan parlementer. Sjahrir pun ditunjuk oleh Bung Karno menjadi perdana menteri pertama dalam sejarah pemerintahan parlementer kita. Hanya dan demi eksistensi negara yang baru diproklamirkan, tidak seorang pun, dalam pandangan ilmiahnya, yang mengkualifikasi tindakan pergeseran pemerintahan itu, sebagai awal kemunculan budaya hukum yang tidak menghargai konstitusi. Pesan hukum konstitusi yang begitu jelas, dikesampingkan begitu saja. Dalil konvensi yang dipakai untuk menjelaskan soal itu, bagi saya terlampau berlebihan. Konvensi, dalam maknanya yang hakiki, bukanlah sesuatu praktik yang menginjak-injak ketentuan konstitusi. Praktik Amerika Serikat, sebagaimana sudah disebutkan di muka, bukanlah suatu praktik yang menginjak-injak konstitusi. Praktik mereka adalah memboboti kehidupan bernegara dengan nilai-nilai dasar konstitusi.
Paradoks lagi, itulah yang dapat dkatakan untuk melukiskan perkembangan kultur konstitusionalisme muda kala itu. Betapa tidak, di usia yang begitu muda, muncul gagasan-gagasan yang menurut saya sangat cemerlang. Kecemerlangannya, ditandai oleh dua peristiwa hukum. Pertama, maklumat Wakil Presiden untuk membuka ruang ketatanegaraan bagi tumbuhnya partai politik. Mengagumkan, mereka menolak partai tunggal. Kedua, walaupun begitu sederhana pikiran dasarnya, namun mengalih-fungsikan Komite Nasional Indonesia Pusat, sambil menunggu pembentukan MPR, dijadikan badan legislatif, adalah tindakan yang sangat maju dilihat sudut pandang konstitusionalisme. Pengalih-fungsian KNIP dari badan pembantu Presiden menjadi badan legislatif, sesungguhnya sangat sejalan dengan gagasan dasar konstitusionalisme, yaitu membatasi kekuasaan presiden. Tujuannya adalah agar kekuasaan tidak ber-evolusi menjadi kekuasaan tanpa batas. Inilah yang mengagumkan.
Sambil jalan, dan seolah telah terlatih pada periode paling awal ini, pemerintahan-pemerintahan parlementer periode 1950-1959, menandai sebuah periode paling menjengkelkan. Selalu saja tersedia alasan untuk gonta-ganti kabinet. Fakta itu, cukuplah untuk ditandai sebagai bukti empirik, betapa rapuhnya kultur konstitusionalisme dalam periode ini. Praktik politik tidak berkembang paralel dengan kebutuhan untuk mengembangkan sebuah budaya hukum. Praktik pengelolaan negara menjadi tidak efektif, apalagi mengkonsolidasi pertumbuhan gagasan-gagasan dasar konstitusionalisme. Padahal, sebagaimana pada periode awal kemerdekaan, pada fase ini terdapat beberapa fenomena yang mengagumkan juga. Tindakan hukum yang tidak pandang bulu, tetap masih dapat tumbuh. Jaksa Agung Suprapto, begitu kokoh sebagai pengawal hukum. Menteri pun dibawa ke pengadilan. Mengagumkan betul. Tetapi itu pulalah yang menjadi paradoksnya.
Babakan 1960-1998: Puncak Kemerosotan Konstitusionalisme
Seolah menjadi tiupan sangkakala, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, mematikan semua ekspektasi, minimal sekalipun, ide-ide konstitusionalisme. Segera setelah dekrit, dengan penuh keyakinan keadaan ketatanegaraan, berada dalam situasi darurat. Revolusi pun memperoleh tempat basah. Untuk dan atas nama Revolusi yang selalu saja dianggap belum selesai, hukum revolusi pun diberlakukan. Perlahan, tapi pasti, tata hukum yang telah terkonsepkan sebagai tata hukum revolusi, dan memperoleh dukungan dari sebagian ahli hukum yang sangat idiologikal, loyal pada Bos revolusi, ide hukum revolusi mengambil bentuk yang nyata. Tak berapa lama, hukum revolusi pun menentukan mangsanya, dan segera saja memangsainya.
Dewan Perwakilan Rakyat, hasil pemilu 1955, yang diakui secara jujur oleh semua ilmuwan sebagai pemilu paling spektakuler, karena berlangsung ditengah situasi kita belum terlatih dengan ihwal pilih-memilih, apalagi tingkat pendidikan yang begitu rendah, dan alat komunikasi yang masih primitif, harus bubar. Penyebabnya sederhana sekali. DPR menolak RAPBN yang diajukan oleh pemerintah. Padahal ini adalah hak konstitusionalnya. Presiden tahu soal ini. Tapi, demi dan atas nama revolusi yang belum selesai, dan sesuai dengan tuntutan logika revolusi, diperlukan tindakan revolusioner. DPR akhirnya dibubarkan. Lahirlah kemudian DPR-GR. Sebelumnya penguasa terlebih menciptakan situasi politik yang sangat ketat, karena pengawasan pemerintah. Pertemuan politik harus dibekali dengan izin. Tanpa izin dari penguasa, pertemuan, apapun tujuannya akan dibubarkan. Dalam perkembangan yang begitu cepat, setelah DPR, moncong politik selanjutnya diarahkan ke partai-partai. Partai Masyumi, sebuah partai yang dikenal gigih dan sangat kokoh berdiri di atas landasan konstitusionalisme, menjadi target tembakan politik yang mematikan. Dengan alasan yang dicari-cari, Masyumi diminta untuk membubarkan diri atau akan dibubarkan. Masyumi akhirnya mengalami dikirimi surat yang substansinya adalah meminta untuk membubarkan diri. Respon Masyumi sangat menarik. Masyumi memperkarakan tindakan Presiden yang meminta pembubaran itu. Sayang sekali, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Raya, saya lupa namanya, menolak memeriksa dan mengadili perkara itu. Alasannya begitu sederhana, yaitu bukan masalah hukum. Andaikan saja, Ketua pengadilan memiliki nyali sebagai pengawal keadilan, dan apalagi sebagai pengawal bangsa, perkara ini akan menjadi titik tumbuhnya kultur konstitusionalisme Indonesia. Bagaimana tidak? Tindakan Presiden dinilai oleh pengadilan. Andaikan pula, pengadilan menyatakan perbuatan Presiden bersifat melawan hukum, pasti akan menjadi putusan yang bernilai sangat tinggi dalam perspektif konstitusionalisme.
Selain DPR, Masyumi, dan larang-larangan atas kegiatan politik tertentu, pemerintah memenjarakan sejumlah warga negara yang berbeda haluan politiknya. Interpretasi atas konstitusi yang bersifat manipulatif, juga digunakan oleh pemerintah dalam memenjarakan Kasman Singadimedjo, Sjahrir, Yunan Nasution, dan beberapa yang lainnya. Praktik pada bidang lainnya, ambil misalnya di bidang ekonomi pun tidak berbeda.
Rezim Bung Karno, jelas bukan rezim konstitusional. Tak mengherankan, rakyat bergembira ketika pada tahun 1966, muncul orde baru, yang retoris digembar-gemborkan sebagai Orde Konstitusional. Tepi, faktanya orde bikinan Presiden murah senyum, Soeharto, pada level tertentu cukup mengerikan, walaupun pada bidang lainnya, prestasinya begitu hebat. Di bidang pembangunan, rezim ini benar-benar hebat. Tidak sedikit Masjid dibangun, tak terhitung berapa milyar kilo meter jalan dan jembatan dibangun, kapal laut dan pesawat terbang juga dibuat. Tak terhitung pula, berapa trilyunan rupiah dipakai untuk menyubsidi minyak, beras dan lainnya, demi kesejahteraan rakyat. Tak terhitung juga berapa banyak SD Inpres dibangun, sama halnya dengan Puskesmas. Orde Baru jago di bidang ini. Tetapi pada bidang lain, Orde Baru, jelas mengerikan dan menakutkan. Integralistik, yang diselami orde ini, melahirkan pembenaran untuk menolak perbedaan pendapat, membenarkan tindakan sewenang-wenang, dalam semua bidang kehidupan, hukum politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan landasan integralistik, Presiden murah senyum ini, muncul seolah-olah sebagai raja. Negara seolah identik dengannya. Tidak ada yang dapat menolak kemauannya. MPR, yang secara tekstual berada di atas Presiden, ternyata cuma jadi tukang stempel paling terlatih, begitu juga DPR.
Hukum cuma jadi alat, begitu peradilan. Ismail Suny, Adnan Buyung Nasution, Princen, Mochtar Lubis, dan beberapa anak muda yang cerdas dan jujur, ambil misalnya Hariman Siregar, begitu juga Sjahrir dipenjarakan tanpa proses pengadilan yang fair. Kebiasaan buruk yang diawali pada tahun 1974 terus dilanjutkan. Terlalu kasar, diujung kejayaannya, entah demi negara atau dirinya sendiri atau keluarganya, Presiden murah senyum ini membenarkan tindakan sewenang-wenang terhadap sejumlah anak muda. Anak-anak muda, yang dinilai sebagai tukang bikin onar negara, padahal mungkin saja cuma memusingkan dirinya, keluarganya atau konco-konco ekonominya, ditangkap dan disekap. Sebagian telah bebas, tetapi sebagian lagi wallahu alam, tak jelas rimbanya. Kalau sudah meninggal, kapan meninggalnya. Kalau sudah dikuburkan, dimana kuburannya, kalau masih hidup dimana pula tempat tinggalnya. Semuanya kabur. Prestasi gemilang lainnya yang dicapai oleh rezim Soeharto, adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Berlandaskan pada interpretasi integralistik, rezim ini tepo seliro kepada yang berbuat keliru. Feodalisasi negara yang dibangunnya, menyulitkan penegakan hukum, dan perwujudan keadilan dalam semua dimensi kehidupan. Ekspektasi rezim ini bersifat ganda dan tidak masuk akal. Ide-ide dasar yang berkembang dalam perdebatan pembentukan UUD 1945, diselami dan dianut secara sepotong-sepotong. Integralistik, misalnya hanyalah satu ide dasar, bukan satusatunya ide. Gagasan yang dikemukakan oleh Muh. Yamin dan Moh Hatta, tentang hak asasi manusia, tidak pernah disentuh sama sekali. Karena dianggap mewakili nilai barat, HAM dinomorduakan, kecuali sejalan dengan kebutuhan pembangunan.
Singkatnya, babakan 1960-1998 merupakan babakan kehancuran kultur konstitusionalisme. Manipulasi atas semangat, norma dan aturan konstitusi terjadi begitu terbuka. Orde Lama dan Orde Baru sama-sama menggunakan cara seperti itu. Namun alasannya berbeda. Kedua orde ini, tepat dikategori sebagai non constitutional government, atau otoritarian government, dengan Bung Karno dan Pak Harto sebagai sumber dari segala sumber, bukan konstitusi itu sendiri. Karena personalisasi keduanya, dengan level yang berbeda-beda, interpretasi atas konstitusi, dalam banyak hal memunculkan nuansa feodal. Feodalisasi, boleh jadi disadari oleh keduanya, akhirnya merupakan buah atas interpretasi ide-ide konstitusi 1945. Hasil akhirnya adalah hancurnya budaya berkonstitusi di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kehidupan politik dan konstitusi sejak tahun 1960-1966, jelas menutup jalan ke kultur konstitusionalisme.
Pergeseran Pemahaman: Mekar Lagi Konstitusionalisme Kita Ketika Pak Harto, mantan Presiden RI yang murah senyum itu, berkali-kali ditetapkan menjadi presiden, ahli hukum, politik dan sebagian fungsionaris partai politik, menandai tidak adanya ketentuan yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden sebagai penyebabnya. Padahal Amerika Serikat baru memiliki ketentuan yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden pada tahun 1952. Sebelumnya, sama sekali tidak ada ketentuan itu, persis seperti kita. George Washington-lah yang memulai meletakan fundasinya. Dengan sukarela ia mundur dari pencalonannya untuk ketiga kalinya. Apa yang dilakukan oleh Washington, menjadi tradisi konstitusionalisme yang bagus. Tradisi berlanjut terus, sampai nanti Franklin Delano Rosevelt menjadi presiden. Bahkan fenomena Rosevelt inilah yang merangsang rakyat Amerika Serikat memikirkannya. Kongres pun meresponnya dengan membuat aturan - amandment membatasi masa jabatan presiden.
Terabaikannya ketentuan yang secara exprecis verbis mengatur suatu atau beberapa soal, mestilah tidak dimanfaatkan untuk mengacaukan gagasan konstitusionalisme para pendiri negara. Sebab teks-teks konstitusi, tidak pernah terbentuk tanpa didahului argumen-argumen yang menyertainya. Biasanya argumen-argumen ini sangat mendasar, Komprehensif serta menembus waktu. Kalau hal ini dimengerti oleh para penyelenggara negara, sebagaimana dilakukan oleh Washington, maka Pak Harto pasti dengan sukarela mau untuk tidak menjadi presiden berulang-ulang kali. Dengan interpretasinya yang khas, dipadukan dengan praktiknya yang ketat, itulah yang menghasilkan kehancuran kultur konstituisi pada masanya. Mengerti dan memahami teks pasal saja tidaklah cukup, walaupun tetap menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Mengerti teks, haruslah meliputi atau menembus kotak hitam di belakangnya, yang berisi metavalue-meta ide menyangkut semangat yang melandasi teks itu. Memahami semangat teks, tidak dapat dibatasi sebatas argumenargumen yang langsung berkaitan dengan satu pasal. Sebagai suatu sistem, pasal-pasal dalam UUD, merupakan pengembangan lebih jauh dari prinsip dasar yang lebih tinggi.
Prinsip dasar konstitusi Amerika Serikat misalnya, adalah jaminan dan perlindungan terhadap hak individu. Prinsip dasar ini yang dikembangkan ke dalam berbagai aspek. Pengorganisasian kekuasaan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan, tidak lain merupakan perwujudan gagasan dasar itu secara lebih instrumental dan operasional. Inilah yang digunakan, oleh, misalnya John Marshal, Chief of Supreme Court, dalam menyelesaikan sengketa antara Marbury versus Madison. Dengan berdiri di atas dan menyelami gagasan tentang penolakan terhadap tirani, yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari penghargaan atas hak-hak individu, maka Marshal sampai pada kesimpulan, bahwa tindakan yang dikenakan pemerintah kepada Marbury bersifat inkonstitusional.
Kembali ke Indonesia, khususnya pasca perubahan UUD 1945. Kultur konstitusi macam apakah yang harus dikembangkan setelah perubahan UUD 1945? Sama seperti UUD 1945 sebelum diubah, tidak ditemukan satupun teks konstitusi yang mengatur misalnya tentang keterbukaan, pemerintahan yang bertanggung jawab, akuntabilitas, dan lainnya. Yang ditemukan adalah pembatasan masa jabatan presiden, perubahan cara pengisian jabatan presiden, demikian juga cara pengisian keanggotaan DPR dan MPR, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, pengisian jabatan jabatan hakim agung, dan sebagainya.
Konstitusionalisme yang sedang tumbuh pada saat ini, yang berawal pada tahun 1998, tepatnya sejak siding istimewa MPR, menandai pergeseran yang signifikan. Hal itu terlihat pada produk-produk hukum sidang istimewa itu. Dilihat dari sudut pandang kajian tentang konstitusionalisme, apa yang dihasilkan dalam Sidang Istimewa itu, memperlihatkan secara ekspresif munculnya nilai, orientasi dan harapan baru. Semuanya bermuara pada pembentukan pemerintahan yang bertanggung jawab. Perintah yang ditujukan kepada pemerintah untuk mengoreksi praktik penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat kolutif, koruptif, dan nepotisme, begitu juga terhadap sentralisasi versi UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, adalah sebagian buktinya.
Drama pergeseran ini, ternyata, hanya menjadi batu loncatan untuk perubahan yang lebih dramatis, setahun kemudian. UUD 1945, yang pada masa Orde Baru, diperlakukan sebagai barang keramat, bukan hanya diubah, melainkan direform. Sangat mengagumkan, karena tidak sedikit nilai, yang pada tahun 1945, sebagian ditolak atau diterima secara samar-samar, justru dibuat jelas. Kekuasaan Presiden yang seolah tanpa batas, dilakukan pembatasan, system pemerintahan, prinsip check and balances, susunan pemerintahan, wewenang MPR, kekuasaan DPR, bahkan muncul lembaga baru dalam struktur MPR kita, eksistensi Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, kekuasaan kehakiman, hak asasi manusia, semuanya mengalami pergeseran. Secara tegas prinsip-prinsip tersebut diatur masukan ke dalam UUD 1945. Mengagumkan. Tetapi jangan buru-buru berhenti memberikan perhatian yang bersifat kritis. Bila dilihat dari sudut gagasan konstitusionalisme, khususnya aspek constitutional reform, apa yang sudah terjadi barulah berada atau menyentuh level political game. Level ini merupakan, perwujudan permainan pada level tertinggi, karena, mungkin mereka tidak setuju,
tetapi pasti sulit ditolak, adanya soal memuaskan konstituensi. Sebagaimana sudah dikemukakan pada awal kajian ini, masih harus ditunggu bagaimana interpretasi para penyelenggara kekuasaan negara terhadap konstitusi. Bagaimana pula mereka mempraktikan norma dan aturan-aturan itu. Pemerintahan yang bertanggung jawab, sering disebut constitutional government, sering dipertukarkan dengan constitutional democratic, bukanlah barang yang sekali jadi. Kudeta di Thailand, tentu hanya satu bukti. Padahal para ahli yang mengkaji perubahan dramatis dari pemerintahan otoriter ke konstitusional, pernah menunjuk apa yang dicapai Thailand sebagai suatu lompatan mengagumkan dalam pertumbuhan constitutional government. Tertatih-tatihnya kita dalam memberantas korupsi, me-reformasi birokrasi, menempatkan hukum sebagai panglima, masih harus diusahakan secara sistematis. Energi yang sudah tertumpah, sejauh ini belum cukup mengantarkan kita ke pintu gerbang pemerintahan yang efektif dan efisien. Good administration, sebagai satu elemen kunci dalam good governance, masih harus diusahakan pula. Masalahnya, semua soal ini memiliki tali-temali yang saling berkorelasi, dan muncul sebagai sebuah lingkaran yang utuh. Semua simpulnya harus digarap, agar menghasilkan sesuatu yang bermakna. Good administration, hanya dapat diciptakan kalau tersedia aparatur yang berprilaku baik good behaviour.
Hukum, akan menjadi supreme, kalau aparatnya bersih, baik moral maupun intelektualnya. Hanya dengan aparatur semacam itulah, hukum tidak akan sedikit sulit dibengkokan untuk tujuan-tujuan yang tidak pantas .
Selasa, 08 Maret 2011
SPECIAL MISSION
Pada konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik (1961), dan hubungan konsuler (1963) telah mengutamakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional yang ada dapat diselesaikan, maka komisi hukum internasional PBB menyadari bahwa hubungan diplomatik bukan hanya terdiri dari masalah-masalah yang berkaitan dengan pertukaran misi yang sifatnya permanen, tapi juga menyangkut pengiriman utusan atau misi dengan tujuan terbatas yang dikenal sebagai diplomasi ad hoc.
Komisi hukum internasional kemudian meminta reporter khusus, Mr. Bartos untuk mempelajari masalah ini. Setelah mendapatkan laporannya, pada tahun 1960, komisi hukum internasional telah menyetujui satu rancangan tiga pasal mengenai “Misi Khusus” yang harus dimasukkan dalam konvensi mengenai hubungan diplomatik.
Mr. Bartos, sebagai reporter khusus yang ditunjuk oleh panitia hukum internasional PBB, ditugaskan untuk mempersiapkan draft artikel mengenai masalah itu, yang harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik dengan memperhatikan bahwa misi khusus yang karena sifat tugasnya haruslah dibedakan dengan misi diplomatik yang bersifat permanen.
Beberapa tahun setelah dibahas dalam Panitia Hukum Internasional dan dibicarakan secara panjang lebar dalam Komite VI majelis Umum PBB, maka dirumuskan 50 pasal yang kemudian pada 1967 disampaikan dalam sidang Majelis Umum yang ke-24. Majelis Umum PBB pada 8 Desember 1969 telah menyetujui Resolusi 2530 (XXIV) yang menyertakan teks konvensi mengenai misi khusus dan menyatakan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi.
Konvensi mengenai misi khusus ini merupakan pelengkap Konvensi Wina 1961 dan 1963, dimaksudkan agar dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan hubungan baik semua negara. Konvensi New York 1969 beserta protokol pilihannya mengenai kewajiban untuk menyelesaikan pertikaian yang sudah berlaku sejak 21 Juni 1985 telah diratifikasi oleh 23 negara.
Penjelasan Spesifik Tentang Special Mission
Misi khusus dalam hukum initernasional ini didasarkan pada atau memiliki pijakan hukum pada Konvensi New York 1969 yang secara khusus membahas mengenai special mission atau misi khusus.
Mengenai kekebalan dari Misi Khusus (Special Missions) pengaturannya dikenal dengan The Convention on Special Missions 1969. Dalam banyak hal negara-negara akan atau dapat mengirim dan mengutus misi khusus atau misi ad hoc ke negara-negara tertentu untuk membicarakan suatu isu yang telah ditentukan di samping mempercayakannya kepada staff perwakilan diplomatik dan konsuler yang sifatnya permanen. Dalam keadaan demikian utusan khusus (special missions) entah semata-mata bersifat teknis atau secara politis penting dapat mengandalkan adanya kekebalan-kekebalan tertentu yang pada dasarnya berasal (derived from) dari Konvensi-Konvensi Wina dengan cara menggunakan analogi disertai modifikasi seperlunya. Berdasarkan ketentuan pasal 8 dari the Convention on Special Missions 1969, negara pengirim harus membiarkan negara penerima (the host state) mengetahui besarnya (size) serta komposisi dari misi tersebut, sementara menurut pasal 17 misi tadi harus hadir di suatu tempat yang disetujui oleh negara-negara yang bersangkutan atau di Kementerian Luar Negeri dari negara penerima.
Berdasarkan ketentuan pasal 31 para anggota dari special missions tidak memiliki imunitas menyangkut klaim yang timbul dari suatu kecelakaan akibat suatu kendaraan yang digunakan di luar tugas resmi dari orang yang bersangkutan dan berdasarkan ketentuan pasal 27 maka kebebasan bergerak dan bepergian yang diperkenankan hanyalah kebebasan bergerak dan bepergian yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi dari misi khusus.
Adapun pengertian misi khusus yang terdapat dalam konvensi Tahun 1969 tersebut adalah “Misi Khusus (special mission) ialah suatu misi yang bersifat sementara, mewakili negara, yang dikirim oleh suatu negara ke negara lain atas persetujuan negara terakhir untuk tujuan menyelesaikan persoalan khusus.”
Selain istilah misi khusus, terdapat istilah lain lagi dalam konvensi ini, yaitu :
· Misi Diplomatik Permanen (Permanent diplomatic mission) ialah suatu misi diplomatik dalam artian seperti yang tercantum pada konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik.
· Pos Konsuler (consular post) adalah suatu konsulat jenderal, konsulat, wakil konsulat atau perwakilan konsulat.
· Kepala Misi Khusus (head of a special mission) adalah orang yang diberi kekuasaan oleh negara pengirim melakukan tugas untuk bertindak dalam kapasitas itu.
· Seorang wakil negara pengirim (representative of the sending state in the special mission) dalam misi khusus, adalah setiap orang, yang oleh negara pengirim diberi tugas untuk bertindak dalam kapasitas itu.
· Anggota-anggota misi khusus (member of a special mission) ialah kepala misi khusus, wakil-wakil negara pengirim di dalam misi khusus, dan anggota-anggota staf misi khusus.
· Anggota-anggota staaf misi khusus (member of the staff of the mission) adalah anggota-anggota staf diplomatik, staf administrasi dan teknik dan staf pelayanan khusus.
· Anggota-anggota staf diplomatik (members of the diplomatic staff)adalah anggota-anggota staf misi khusus yang mempunyai status diplomatik untuk keperluan misi khusus.
· Anggota-anggota taf administrasi dan teknik (members of the administrative and technical staff) adalah anggota-anggota staf misi khusus yang dipekerjakan dalam pelayanan administrasi dan teknik misi khusus.
· Anggota-anggota staf pelayanan (members of the service staff) ialah anggota-anggota staf misi khusus, yang dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga atau tugas-tugas serupa.
· Staf pribadi (private staff) adalah orang-orang yang dipekerjakan khusus dalam pelayanan pribadi anggota-anggota misi khusus.
Tugas-tugas misi khusus dimulai saat misi mengadakan hubungan resmi dengan menteri luar negeri atau dengan instansi lain negara penerima sebagaimana telah disetujui. Permulaan tugas misi khusus tidak tergantung pada presentasi misi oleh misi diplomatik permanen negara pengirim atau pada penyerahan surat-surat kepercayaan atau kekuasaan penuh
Misi khusus secara jelas mempunyai tugas dan fungsi, yaitu sebagai berikut :
§ Tugas misi khusus ini, sudah ditegaskan dalam pasal 2 konvensi, bahwa tugas misi khusus ditentukan oleh persetujuan bersama antara negara pengirim dan negara penerima.
§ Kepala misi khusus, atau, kalau negara pengirim tidak mengangkat seorang kepala, seorang wakil negara pengirim, yang oleh negara itu ditunjuk berhak bertindak atas nama misi khusus dan untuk menyampaikan komunikasi kepada negara penerima. Negara penerima menyampaikan komunikasi yang menyangkut misi khusus kepada kepala misi khusus, atau kalau tidak ada, kepala utusan yang disebut diatas, baik secara langsung maupun lewat misi diplomatik permanen.
§ Akan tetapi, seorang misi khusus dapat diberi kuasa oleh negara pengirim, oleh kepala misi khusus, atau wakil yang disebut di atas, baik mengganti kepala misi atau wakil diatas atau melakukan tindakan tertentu atas nama misi (pasal 14).
Keistimewaan dari misi khusus adalah terdapat dalam pasal 21 Status of the head of state and persons of high rank, konvensi menentukan:
a) Kepala negara pengirim, jika memimpin misi khusus di negara penerima atau di negara ketiga menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang diberikan menurut hukum internasional kepada kepala-kepala negara yang sedang berkunjung.
b) Kepala pemerintahan, menteri luar negeri dan lain-lain orang yang berpangkat tinggi, jika ikut serta dalam misi khusus negara pengirim, di negara penerima atau negara ketiga, sebagai tambahan pada apa yang diberikan oleh konvensi ini, fasilitas, hak-hak dan kekebalan yang ditentukan oleh hukum internasional.
c) Negara penerima memberikan kepada misi khusus fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan memperhatikan sifat serta tugas misi (pasal 22).
d) Negara penerima membantu misi khusus, jika diminta dalam pengadaan gedung misi dan mendapatkan akomodasi yang diperlukan untuk anggota-anggotanya (pasal 23).
Kemudian dalam pasal 24 konvensi mengenai Extemption of the premises of the special mission from taxation,menetapkan:
a. Sampai batas-batas yang sesuai dengan sifat dan waku tugas-tugas yang dilaksanakan oleh misi khusus dibebaskan dari pungutan dan pajak nasional, regional dan kota praja, sehubungan dengan gedung yang ditempati misi, selain pembayaran-pembayaran untuk pelayanan-pelayanan yang diberikan.
b. Pembebasan pajak yang disebut dalam pasal ini tidak berlaku bagi pungutan dan pajak-pajak yang harus dibayar menurut Undang-undang negara penerima oleh orang-orang yang mengadakan kontrak dengan negara pengirim atau dengan anggota misi khusus.
Cara-cara pengiriman misi khusus adalah sebagai berikut :
· Suatu negara dapat mengirim misi khusus ke negara lain dengan persetujuan negara terakhir, yang didapatkan sebelumnya melalui saluran diplomatik atau persetujuan bersama (pasal 2).
· Bisa juga dilakukan, suatu negara yang hendak mengirim satu misi khusus kepada dua negara atau lebih memberi tahu negara penerima masing-masing pada waktu minta persetujuan (pasal 4).
· Dua negara atau lebih yang hendak mengirim suatu misi khusus bersama kepada negara lain akan memberi tahu negara pengirim, pada waktu meminta persetujuan negara itu (pasal 5).
· Dua negara atau lebih dapat pada waktu yang bersamaan mengirim suatu misi khusus kepada negara lain dengan persetujuan yang diperolehnya dari negara itu sesuai dengan pasal 2, untuk merundingkan bersama-sama, persoalan yang menyangkut kepentingan bersama, dengan persetujuan semua negara ini (pasal 6).
Tugas misi khusus berakhir antara lain berdasarkan pada (Pasal 20):
a) Persetujuan negara-negara yang bersangkutan
b) Penyelesaian tugas misi khusus
c) Berakhirnya waktu yang dijadwalkan untuk misi khusus, kecuali bila ada perpanjangan waktu
d) Pemberitahuan negara pengirim bahwa misi khusus diakhiri atau dipanggil kembali
e) Pemberitahuan dari negara penerima, bahwa ia menganggap bahwa misi khusus telah berakhir
Selain itu dengan pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler antara negara pengirim dan negara penerima tidak akan menyebabkan berakhirnya misi khusus yang sedang bertugas saat pemutusan hubungan.
Fungsi Misi Khusus baru berakhir bila tugas-tugas misi khusus berakhir, negara penerima harus menghormati dan melindungi misi khusus selama diperlukan untuk keperluan itu. Hak milik dan arsip di dalam batas waktu yang pantas. Selain itu juga jika Dalam keadaan tidak ada atau putusnya hubungan diplomatik atau konsuler antara kedua negara pengirim dan negara penerima dan jika tugas-tugas misi khusus berakhir, negara pengirim dapat, meskipun dalam keadaan konflik bersenjata, menyerahkan kekuasaan terhadap hal milik dan arsip misi khusus kepada negara ketiga yang dapat disetujui negara penerima (pasal 46).
Sumber
Convention of Special Mission 1969
http://gracedekayanti.blogspot.com/2010/03/materi-kuliah-hukum-internasional.html
KASUS
VIVAnews - Suatu misi rahasia Inggris di Libya, yang melibatkan pasukan khusus SAS dan agen intelijen MI6, berakhir memalukan. Jadi korban salah paham, mereka sempat ditahan pasukan anti rezim Muammar Khadafi, pihak yang seharusnya mereka bantu. Kabar itu dilontarkan secara implisit oleh pejabat Inggris. Misi rahasia itu disebut sebagai "tim diplomatik."
"Saya bisa pastikan bahwa suatu tim diplomatik Inggris telah tiba di Benghazi," kata Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, seperti dikutip harian The Guardian, Minggu 6 Maret 2011. "Tim itu pergi ke Libya untuk menjalin kontak dengan kubu oposisi. Mereka mengalami kesulitan, yang telah diselesaikan secara memuaskan. Mereka kini telah meninggalkan Libya," kata Hague.
Dia tidak menjelaskan secara rinci tugas "tim diplomatik" Inggris itu di Libya. Namun, kalangan media massa Inggris mendapat bocoran percakapan antara Duta Besar Inggris untuk Libya, Richard Northern, dan seorang pejabat senior Libya yang memberontak.
Hasil percakapan lewat telepon itu mengungkapkan misi rahasia Inggris yang berakhir memalukan. Menurut bocoran yang juga diterima The Guardian, misi rahasia beranggotakan enam pasukan SAS dan dua agen MI6 sempat ditahan oleh pasukan pemberontak di Libya setelah mendarat dengan helikopter empat hari lalu.
Mereka diberangkatkan dari kapal fregat HMS Cumberland, yang berlabuh di kota terbesar kedua Libya, Benghazi, yang menjadi basis pemberontakan anti Khadafi. Tugas utama kapal itu adalah mengevakuasi warga Inggris dan sesama warga Uni Eropa dari Libya, yang dilanda pergolakan anti Khadafi sejak 15 Februari lalu.
Kapal HMS Cumberland juga mendapat tugas khusus, yaitu memberangkatkan misi rahasia untuk menjalin kontak dengan pihak pemberontak. Namun, menurut percakapan Dubes Inggris dengan pihak pemberontak, misi itu tidak berjalan mulus karena terjadi kesalahpahaman.
"Mereka membuat kesalahan besar, datang dengan helikopter di wilayah terbuka," kata pimpinan pemberontak, yang tidak disebutkan namanya, kepada Northern. "Saya pun tidak tahu dengan cara apa mereka ke sana," lanjut Northern.
Ironisnya, tim rahasia Inggris itu sempat disangka sebagai pasukan bayaran pro Khadafi. Pasalnya, Khadafi diketahui mengerahkan milisi-milisi bayaran untuk menghadapi pemberontak.
"Khadafi membawa ribuan tentara bayaran untuk membunuh kami. Sebagian besar pakai paspor asing. Jadi bagaimana kami bisa tahu siapa orang-orang itu," kata seorang sumber The Guardian, merujuk kehadiran misterius tim khusus Inggris dengan helikopter.
"Khadafi membawa ribuan tentara bayaran untuk membunuh kami. Sebagian besar pakai paspor asing. Jadi bagaimana kami bisa tahu siapa orang-orang itu," kata seorang sumber The Guardian, merujuk kehadiran misterius tim khusus Inggris dengan helikopter.
Tak heran bila mereka langsung ditangkap pemberontak begitu tiba di suatu gurun, yang terletak 30 km dari barat daya Benghazi. Pihak pemberontak pun mengaku tidak mau langsung percaya bahwa mereka adalah utusan dari Inggris.
"Mereka mengaku warga Inggris dan paspor mereka memang berasal dari Inggris. Namun, orang-orang Israel pun menggunakan paspor Inggris saat membunuh seseorang di Dubai tahun lalu," ujar sumber itu, merujuk aksi pembunuhan dinas intelijen Israel, Mossad, atas seorang aktivis politik Palestina di Dubai, Uni Emirat Arab.
Namun, setelah mendapat verifikasi dari pemerintah Inggris, tim khusus itu akhirnya dibebaskan dan telah meninggalkan Libya. Menurut sumber pemerintah Inggris di London, mereka dikirim untuk mempelajari lebih lanjut kemampuan pasukan anti Khadafi dan kebutuhan apa yang mereka perlukan.
Namun, Inggris tidak akan memberi mereka senjata, karena masih berlaku larangan pengiriman senjata ke Libya.
Namun, Inggris tidak akan memberi mereka senjata, karena masih berlaku larangan pengiriman senjata ke Libya.
Sementara itu, kalangan politisi di London menyayangkan munculnya kabar misi yang memalukan itu. "Ini menimbulkan kekecewaan dan memalukan bagi Whitehall [sebutan bagi kantor pemerintah Inggris]," kata mantan pemimpin Partai Liberal Demokrat, Sir Menzies Campbell seperti dikutip The Telegraph.
"Merujuk pada bocoran percakapan antara duta besar dengan pemberontak, ini jelas menunjukkan bahwa pengaruh Inggris di Libya telah terganggu oleh aksi-aksi demikian," lanjut Campbell. (sj)
"Merujuk pada bocoran percakapan antara duta besar dengan pemberontak, ini jelas menunjukkan bahwa pengaruh Inggris di Libya telah terganggu oleh aksi-aksi demikian," lanjut Campbell. (sj)
http://dunia.vivanews.com/news/read/208044-pasukan-khusus-inggris-di-libya-dipermalukan
Langganan:
Postingan (Atom)