Serikat, dapat dikembalikan pada, sekurang-kurangnya dua hal. Pertama bentuk negara. Pilihan para pembentuk Konstitusi Amerika Serikat terhadap bentuk negara, yaitu Federal. Pilihan ini memunculkan problem tersendiri, yaitu formulasi pembagian kekuasaan. Sebagai daerah yang sejak semula memilki pemerintahan yang otonom, daerah-daerah setelah terbentuknya negara disebut negara bagian, tidak mau begitu saja membentuk satu federasi. Namun pengalaman sebagai suatu konfederasi merangsang mereka untuk menerima pilihan federasi, dengan pemerintahan pusat yang kuat atau dalam istilah John Jay pemerintahan pusat yang memiliki energi. Kedua, untuk pemerintah yang memiliki energi inilah, maka haruslah dirumuskan secara tepat kekuasaan pemerintah pusat. Pada level ini muncul isu lain, apakah kekuasaan pemerintah itu dilaksanakan oleh satu atau beberapa orang secara kolektif. Apakah pemerintahan harus dipolakan sebagai model pemerintahan pada masa kolonial, yaitu parlementer, sesuai negara induknya, Inggris atau tidak?
Semua masalah tersebut, akhirnya dipecahkan dengan satu formula, yaitu diatur dalam konstitusi. Karena sulitnya mengatur secara rinci batas-batas pembagian kekuasaan, dan hal lainnya secara rigid, maka hanya prinsip-prinsipnya saja yang diatur. Masalah ikutan yang muncul adalah, bagaimana membuat jaminan agar ketentuan-ketentuan dalam konstitusi akan ditaati. Untuk masalah ini dipecahkan dengan kesepakatan konstitusi disifatkan sebagai Law of the Land. Takrif sederhananya adalah konstitusi berlaku untuk seluruh wilayah, dan konstitusi merupakan hukum tertinggi yang berlaku dalam negara. Keteguhan untuk taat pada konstitusi, dengan menempatkannya sebagai hukum tertinggi dalam sistem, bukan hanya hukum, melainkan juga politik, bahkan dalam kehidupan berekonomi, itulah yang kemudian bermetamorfosa dan memunculkan isme tentang konstitusi.
Apa yang hendak dijadikan rujukan untuk mengatur penyelenggaraan negara? Ketentuan-ketentuan yang bersifat tertulis secara tegas dalam konstitusi yang dijadikan pedoman? Faktanya adalah negatif. Akan tetapi hal itu tidak dapat diartikan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak dipedomani. Yang dipedomani justru hal yang jauh lebih fundamental, yaitu nilai-nilai yang melandasi setiap pasal konstitusi. Para penyelenggara pemerintahan dari seluruh cabang kekuasaan justru menyelami setiap dimensi pemikiran dasar yang membentuk pasal atau suatu ketentuan. Itulah yang dilakukan.
Terdapat beberapa peristiwa yang membuktikan bahwa para penyelenggara menyelami ide-ide dasar yang melandasi setiap pasal, ketika menghadapi suatu peristiwa ketatanegaraan, yang tidak memiliki landasan hukum secara terang. Peristiwa pertama adalah ketidak-sediaan George Washington untuk kembali dipilih menjadi presiden. Bagi George,kekuasaan yang terlalu lama akan memunculkan kembali feodalisme. Kekuasaan pun menjadi tak terbatas. Padahal inilah yang secara tegas ditolak oleh Thomas efferson, tatkala membahas konstitusi. Peristiwa kedua yang cukup spektakuler adalah penyelesaian kasus penolakan pengangkatan terhadap William Marbury menjadi hakim, setelah terpilih, pada akhir masa jabatan John Adam. John Marsal, Chief of Supreme Court, harus menyelami pikiran-pikiran dasar yang berkembang pada saat pembahasan konstitusi dalam menyelesaikan kasus. Hasil penyelidikan terhadap gagasan dasar yang berkembang pada saat pembahasan konstitusi, mengantarkan Marshal pada kesimpulan bahwa tindakan penolakan terhadap Marbury merupakan tindakan inkonstitusional. Menurut Marbury, ide dasar yang berkembang pada saat pembentukan konstitusi, tentu yang berhasil ditemukan selama bertahun menyelami perkara itu, adalah kuatnya ide para pembentuk konstitusi untuk mencegah timbulnya tirani. Tirani, sebagaimana diyakini Thomas Jefferson, John Jay, Hamilton dan beberapa yang lainnya, dipercaya sebagai pangkal timbulnya ketidak-adilan.
Dari waktu ke waktu dalam perkembangan penyelenggaraan pemerintahannya, setiap kali terjadi persoalan-persoalan, terutama dibidang ekonomi, selalu dikembalikan pada ide dasar yang berkembang dalam pembahasan konstitusi. Misalnya doktrin tentang keagungan nilai-nilai individual, yang merupakan bagian penting dari hak asasi manusia,
diterjemahkan demikian kuat, ketat dan kaku, ke dalam doktrin kebebasan berkontrak. Doktrin ini berakibat, pemerintah tidak bisa ikut campur dalam urusan kontrak. Namun tatkala terjadi depresi ekonomi pada tahun 1930-an, doktrin ini pun perlahan ditinggalkan. Pada tahun ini pula berkembang doktrin baru yaitu, substance due process of law, di samping due process of law itu sendiri.
Gambaran sekilas tentang pertumbuhan praktek bernegara, khususnya pelembagaan dan ketaatan terhadap konstitusi, menunjukan suatu proses bagaimana semestinya mesti ditemukan. Dalam beberapa kajian mutakhir, konsep konstitusionalisme, dimengerti sebagai proses yang meliputi aspek-aspek sejarah dan kultur interpretasi atas teks, meliptui pula konteks keberlakuan teks itu sendiri. Konstitusionalisme, dalam konteks ini dapat diinterpretasi sebagai sebuah sistem yang memungkinkan berkembangnya interpretasi atas ketentuan-ketentuan konstitusi, termasuk di dalamnya praktik dan harapan-harapan terhadap pemerintah. Dalam aktifitasnya, pemerintah, bukan hanya harus menampakan tindakan yang bersifat evaluatif, tetapi juga harus sejalan dengan prinsip tertinggi atau terdalam yang terkandung dalam konstitusi. Pemerintah harus melakukannya secara sadar dan sukarela, bukan sebaliknya, karena didorong oleh rasa takut mendapat sanksi dari pengadilan.
Penyebutan pengadilan, harus dikembalikan dan atau didasarkan pada sistem ketatanegarannya. Amerika menempatkan pengadilan sebagai institusi satu-satunya yang memonopoli interpretasi atas konstitusi. Tentu berbeda dengan Perancis, yang tidak menempatkan pengadilan sebagai satu-satunya lembaga penafsir konstitusi. Begitu juga Inggris dan Belanda. Karena penempatan hal itu harus dikembalikan dan dimengerti berdasarkan rezim konstitusionalisme yang digariskan dalam konstitusinya.
Seperti halnya konsep konstitusionalisme, kultur konstitusi, terkonsepkan juga sebagai sebuah skema interpretative atas, atau berkorelasi dengan norma, ketentuan-ketentuan, dan praktik-praktik, dari sebagian anggota dari komunitaskomunitas utama dalam satu sistem sosial kemasyarakatan, setidak-tidaknya mengidentifikasi dan memelihara dua level sistem; norms and rules. Sesuai dengan konteksnya, maka kultur, bukan hanya konstitusi, melainkan hukum secara umum, memiliki tingkat keragaman dan kompleksitas tersendiri. Kultur konstitusi harus dilihat dan dimengerti, dengan memahami praktik yang terlembagakan oleh rakyat, dalam mengawasi pemerintahan mereka, daripada memfokuskan perhatian pada teks-teks konstitusi, yang mengatur bagaimana masyarakat politik beroperasi secara aktual, atau bagaimana masyarakat membayangkan bahwa hal itu akan beroperasi. Keragaman interpretasi dan pemahaman, bahkan perbedaan tatanan aturan, yang di dalamnya meliputi konvensi memungkinkan tindakan-tindakan yang bersifat identifikasi terhadap tatanan aturan pada level tertinggi. Yang hendak diidentifikasi adalah: (i) ruang lingkupnya. (ii) pelaksanaan aturan, dan (iii) akibat yang menyertai pelaksanaan aturan tersebut.
Persilangan Kultur Konstitusionalisme: Paradoks
Sejak tahun 1848, kultur hukum kita sudah dibuat terbelakang oleh pemerintah jajahan Belanda. Diawali dengan diberlakukannnya dengan Code du Commerce, selanjutnya ditopang dengan Regering Reglement, 1854. RR, merupakan instrumen untuk memformalisasikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Sesuai dengan politik hukum pada masa itu, perlahan-lahan pemerintah Hindia Belanda membelah, boleh jadi juga mendiversifikasi kultur hukum kita.
Pembelahan awal, adalah pemberlakuannya Agrarische Wet pada 1870. Cukup menarik, pemerintah Hindia Belanda menggunakan azas domein varklaring, di dalam Agrarische Wet itu. Azas ini bertentangan secara diametral dengan filsafat bangsa Indonesia, karena kita menggunakan asas kolektif. Pemilikan atau penguasaan dilakukan secara kolektif. Namun, Belanda tidak mau tahu dengan soal ini. Mereka tidak merasa perlu untuk bertanya lebih dulu kepada orang bumi putra. Satu hal yang sering dilupakan adalah tindakan pemberlakuan Agrarische Wet itu, bukan hanya memberlakukan hukum modern, versi pemerintah Kolonial Belanda, yang berbeda dengan hukum yang berlaku di Hindia Belanda, melainkan pemberlakuan ini, justru merusak nilai-nilai yang diyakini oleh orang bumi putra. Agrarische Wet, sejatinya merupakan ekspresi atas cara pandang orang Belanda, sekurang-kurangnya kaum liberal yang menguasai parlemen Belanda kala itu.
Bukan tidak mengalami penolakan di parlemen, ketika gagasan ini dimunculkan. Akan tetapi, watak kapitalis yang melekat pada gagasan ini memiliki relevansi fungsional dengan tujuan penjajahan, akhirnya gagasan itupun masuk ke Hindia Belanda. Ruh gagasan tersebut membuka jalan bagi kapitalis swasta di negeri Belanda untuk masuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Tentu menguntungkan Belanda.
Sambil tumbuh secara paradoksal, pada tahun 1903 pemerintah Hindia Belanda membuat Decentralische Wet. Undangundang ini, sepintas merupakan suatu terobosan untuk memperkenalkan pemerintahan modern yang sudah lebih dahulu berkembang di Belanda. Akan tetapi, ruhnya adalah memangkas habis pemerintahan tradisional bumi putra kala itu. Kota praja, sebagai anak yang baru lahir dari Decentralische itu, lama-kelamaan tumbuh, tentu untuk dan demi kepentingan pemerintah Hindia Belanda, muncul beberapa provinsi. Seperti halnya, Agrarische Wet, Decentralische Wet pun menyembunyikan, namun tetap dalam kerangka politik hukum pemerintah Belanda, adalah memecah dan mengontrol, serta melunakan orang-orang bumi putra terhadap kejelekan pemerintahan kaum penjajah. Untuk keperluan melengkapi struktur organisasi pemerintahan kota praja inilah, pemerintah Hindia Belanda harus membentuk lembaga-lembaga peradilan. Peradilan landraad harus dibaca dalam kerangka ini. Betapapun peradilan ini diperuntukan bagi golongan bumi putra, tak dapat disangkal, peradilan ini merupakan perwujudan politik diskriminasi, dengan dalih pribumisasi pengadilan.
Akulturasi, atau transplantasi hukum model ini, diakui, ambil misalnya Lev, sebagai suatu politik yang membelakangi realitas. Tidak salah, kalau Sutandyo Wignjosoebroto menilainya sebagai politik transplantasi yang tidak selalu membuahkan hasil yang baik. Betapapun kegagalan itu, dari waktu ke waktu semakin nyata, Belanda memilih jalan lain. Jalan itu diberi nama jalan etik politik etik balas budi. Namun, sebagaimana biasanya, politik inipun menyembunyikan tujuan yang sebenarnya; melanggengkan kekuasaan penjajah di bumi ini. Dengan politik itu, walaupun berhasil melahirkan segelintir orang menjadi orang sekolahan, bahkan bersekolah di negeri Belanda, diharapkan secara perlahan-lahan kita mau menjadi bagian integral dari kerajaan Belanda. Jauh sebelum pengadilan atas orator ulung, Bung Karno, sosok yang tumbuh dalam perjuangannya dengan politik non koperatif, sebagai sebuah tren umum, karena dijadikan platform oleh Indische studie club, Algemene Studie Club, Perhimpunan Pelajar Indonesia, dipenghujung tahun 1920-an dan permulaan tahun 1930-an, yang merupakan motor pencerahan kala itu, hukum ditampakan secara nyata cuma sebagai alat kekuasaan kaum penjajahan. Apa yang dialami oleh Bung Karno dalam Pengadilan di Sukamiskin Bandung adalah bukti; hukum dan pengadilan cuma alat kekuasaan. Tak heran pula, kalau pada tahun-tahun sesudah itu, Bung Hatta, secara lantang mengeritik watak otoritas pemerintahan Hindia Belanda. Hatta, menilai apa yang digembar-gemborkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintahan yang didasarkan pada hukum rule of law, justru sebaliknya rule by law. Hartzai artikelen, yang anehnya masih dipertahankan sampai saat ini, oleh Hatta, orang yang kemudian dalam masa kemerdekaan memperoleh Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu hukum, sebagai pasal yang membunuh orang bumi putra.
Periode penjajahan, berakhir dengan paradoks kultur hukum. Pemberlakuan hukum-hukum modern, dengan pranata modern ala Belanda, bukan cuma gagal, akan tetapi memporak-porandakan nilai, orientasi dan ekspektasi orang bumi putra tentang ideal-ideal kultur hukum yang pantas untuk ditumbuhkan. Konvigurasi Sesudah Kemerdekaan
Babakan 1945-1960: Awal Kekacauan
Memaknai kemerdekaan dengan apapun, tentu saja benar, tergantung bagaimana lensa paradigma yang digunakannya. Dilihat dari kacamata Hukum Tata Negara, peristiwa tanggal 17 Agustus 1945, adalah suatu pernyataan tentang pemutusan tata hukum lama dan pada saat yang muncul tata hukum baru. Perkara kita masih tetap menggunakan sebagian besar hukum produk pemerintah Hindia belanda, itu adalah soal lain. Soal ini menyangkut politik hukum pemerintah kita.
Mungkin tidak terlalu simetris, akan apa yang terjadi di Perancis, dalam batas tertentu, dapat digunakan untuk menerangkan gejala kita di atas. Code du Commerce dan Code Penal di Perancis sesudah kemerdekaan, baru berhasil dibentuk beberapa tahun sesudah pernyataan kemerdekaan. Roberspire, yang memerintah Perancis segera setelah pernyataan kemerdekaan tidak berhasil melakukannya. Pemerintahannya, malah dianggap sebagai pemerintahan teror, karena keangkuhan golongan jakobin, golongan yang dianggap sebagai pemenang dalam pertarungan menjelang kemerdekaan.
Menyelami tahun-tahun awal pemerintahan kita, betapapun tidak sedikit ahli tata negara dan politik, menerimanya sebagai hal yang biasa-biasa saja, namun harus diakui, pergantian sistem pemerintahnan dari Presidensial model UUD 1945 (sebelum diubah) menjadi sistem pemerintahan parlementer, merupakan sesuatu yang berandil besar, dalam menentukan jalannya pertumbuhan kultur hukum kita.
Di usia yang begitu muda, dengan alasan-alasan yang luar biasa rasionalnya, bila dilihat konteks sosial politiknya, kita menorehkan kultur hukum yang kurang bagus, demi efektifitas usaha meyakinkan dunia Internasional, sekurangkurangnya, itulah pikiran terbuka Bung Sjahrir pemerintahan presidensial ditingggalkan. Sebagai gantinya adalah pemerintahan parlementer. Itulah yang terjadi pada tanggal 14 November 1945. Tanggal ini adalah tanggal diresmikannya pemberlakuan pemerintanan parlementer. Sjahrir pun ditunjuk oleh Bung Karno menjadi perdana menteri pertama dalam sejarah pemerintahan parlementer kita. Hanya dan demi eksistensi negara yang baru diproklamirkan, tidak seorang pun, dalam pandangan ilmiahnya, yang mengkualifikasi tindakan pergeseran pemerintahan itu, sebagai awal kemunculan budaya hukum yang tidak menghargai konstitusi. Pesan hukum konstitusi yang begitu jelas, dikesampingkan begitu saja. Dalil konvensi yang dipakai untuk menjelaskan soal itu, bagi saya terlampau berlebihan. Konvensi, dalam maknanya yang hakiki, bukanlah sesuatu praktik yang menginjak-injak ketentuan konstitusi. Praktik Amerika Serikat, sebagaimana sudah disebutkan di muka, bukanlah suatu praktik yang menginjak-injak konstitusi. Praktik mereka adalah memboboti kehidupan bernegara dengan nilai-nilai dasar konstitusi.
Paradoks lagi, itulah yang dapat dkatakan untuk melukiskan perkembangan kultur konstitusionalisme muda kala itu. Betapa tidak, di usia yang begitu muda, muncul gagasan-gagasan yang menurut saya sangat cemerlang. Kecemerlangannya, ditandai oleh dua peristiwa hukum. Pertama, maklumat Wakil Presiden untuk membuka ruang ketatanegaraan bagi tumbuhnya partai politik. Mengagumkan, mereka menolak partai tunggal. Kedua, walaupun begitu sederhana pikiran dasarnya, namun mengalih-fungsikan Komite Nasional Indonesia Pusat, sambil menunggu pembentukan MPR, dijadikan badan legislatif, adalah tindakan yang sangat maju dilihat sudut pandang konstitusionalisme. Pengalih-fungsian KNIP dari badan pembantu Presiden menjadi badan legislatif, sesungguhnya sangat sejalan dengan gagasan dasar konstitusionalisme, yaitu membatasi kekuasaan presiden. Tujuannya adalah agar kekuasaan tidak ber-evolusi menjadi kekuasaan tanpa batas. Inilah yang mengagumkan.
Sambil jalan, dan seolah telah terlatih pada periode paling awal ini, pemerintahan-pemerintahan parlementer periode 1950-1959, menandai sebuah periode paling menjengkelkan. Selalu saja tersedia alasan untuk gonta-ganti kabinet. Fakta itu, cukuplah untuk ditandai sebagai bukti empirik, betapa rapuhnya kultur konstitusionalisme dalam periode ini. Praktik politik tidak berkembang paralel dengan kebutuhan untuk mengembangkan sebuah budaya hukum. Praktik pengelolaan negara menjadi tidak efektif, apalagi mengkonsolidasi pertumbuhan gagasan-gagasan dasar konstitusionalisme. Padahal, sebagaimana pada periode awal kemerdekaan, pada fase ini terdapat beberapa fenomena yang mengagumkan juga. Tindakan hukum yang tidak pandang bulu, tetap masih dapat tumbuh. Jaksa Agung Suprapto, begitu kokoh sebagai pengawal hukum. Menteri pun dibawa ke pengadilan. Mengagumkan betul. Tetapi itu pulalah yang menjadi paradoksnya.
Babakan 1960-1998: Puncak Kemerosotan Konstitusionalisme
Seolah menjadi tiupan sangkakala, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, mematikan semua ekspektasi, minimal sekalipun, ide-ide konstitusionalisme. Segera setelah dekrit, dengan penuh keyakinan keadaan ketatanegaraan, berada dalam situasi darurat. Revolusi pun memperoleh tempat basah. Untuk dan atas nama Revolusi yang selalu saja dianggap belum selesai, hukum revolusi pun diberlakukan. Perlahan, tapi pasti, tata hukum yang telah terkonsepkan sebagai tata hukum revolusi, dan memperoleh dukungan dari sebagian ahli hukum yang sangat idiologikal, loyal pada Bos revolusi, ide hukum revolusi mengambil bentuk yang nyata. Tak berapa lama, hukum revolusi pun menentukan mangsanya, dan segera saja memangsainya.
Dewan Perwakilan Rakyat, hasil pemilu 1955, yang diakui secara jujur oleh semua ilmuwan sebagai pemilu paling spektakuler, karena berlangsung ditengah situasi kita belum terlatih dengan ihwal pilih-memilih, apalagi tingkat pendidikan yang begitu rendah, dan alat komunikasi yang masih primitif, harus bubar. Penyebabnya sederhana sekali. DPR menolak RAPBN yang diajukan oleh pemerintah. Padahal ini adalah hak konstitusionalnya. Presiden tahu soal ini. Tapi, demi dan atas nama revolusi yang belum selesai, dan sesuai dengan tuntutan logika revolusi, diperlukan tindakan revolusioner. DPR akhirnya dibubarkan. Lahirlah kemudian DPR-GR. Sebelumnya penguasa terlebih menciptakan situasi politik yang sangat ketat, karena pengawasan pemerintah. Pertemuan politik harus dibekali dengan izin. Tanpa izin dari penguasa, pertemuan, apapun tujuannya akan dibubarkan. Dalam perkembangan yang begitu cepat, setelah DPR, moncong politik selanjutnya diarahkan ke partai-partai. Partai Masyumi, sebuah partai yang dikenal gigih dan sangat kokoh berdiri di atas landasan konstitusionalisme, menjadi target tembakan politik yang mematikan. Dengan alasan yang dicari-cari, Masyumi diminta untuk membubarkan diri atau akan dibubarkan. Masyumi akhirnya mengalami dikirimi surat yang substansinya adalah meminta untuk membubarkan diri. Respon Masyumi sangat menarik. Masyumi memperkarakan tindakan Presiden yang meminta pembubaran itu. Sayang sekali, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Raya, saya lupa namanya, menolak memeriksa dan mengadili perkara itu. Alasannya begitu sederhana, yaitu bukan masalah hukum. Andaikan saja, Ketua pengadilan memiliki nyali sebagai pengawal keadilan, dan apalagi sebagai pengawal bangsa, perkara ini akan menjadi titik tumbuhnya kultur konstitusionalisme Indonesia. Bagaimana tidak? Tindakan Presiden dinilai oleh pengadilan. Andaikan pula, pengadilan menyatakan perbuatan Presiden bersifat melawan hukum, pasti akan menjadi putusan yang bernilai sangat tinggi dalam perspektif konstitusionalisme.
Selain DPR, Masyumi, dan larang-larangan atas kegiatan politik tertentu, pemerintah memenjarakan sejumlah warga negara yang berbeda haluan politiknya. Interpretasi atas konstitusi yang bersifat manipulatif, juga digunakan oleh pemerintah dalam memenjarakan Kasman Singadimedjo, Sjahrir, Yunan Nasution, dan beberapa yang lainnya. Praktik pada bidang lainnya, ambil misalnya di bidang ekonomi pun tidak berbeda.
Rezim Bung Karno, jelas bukan rezim konstitusional. Tak mengherankan, rakyat bergembira ketika pada tahun 1966, muncul orde baru, yang retoris digembar-gemborkan sebagai Orde Konstitusional. Tepi, faktanya orde bikinan Presiden murah senyum, Soeharto, pada level tertentu cukup mengerikan, walaupun pada bidang lainnya, prestasinya begitu hebat. Di bidang pembangunan, rezim ini benar-benar hebat. Tidak sedikit Masjid dibangun, tak terhitung berapa milyar kilo meter jalan dan jembatan dibangun, kapal laut dan pesawat terbang juga dibuat. Tak terhitung pula, berapa trilyunan rupiah dipakai untuk menyubsidi minyak, beras dan lainnya, demi kesejahteraan rakyat. Tak terhitung juga berapa banyak SD Inpres dibangun, sama halnya dengan Puskesmas. Orde Baru jago di bidang ini. Tetapi pada bidang lain, Orde Baru, jelas mengerikan dan menakutkan. Integralistik, yang diselami orde ini, melahirkan pembenaran untuk menolak perbedaan pendapat, membenarkan tindakan sewenang-wenang, dalam semua bidang kehidupan, hukum politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan landasan integralistik, Presiden murah senyum ini, muncul seolah-olah sebagai raja. Negara seolah identik dengannya. Tidak ada yang dapat menolak kemauannya. MPR, yang secara tekstual berada di atas Presiden, ternyata cuma jadi tukang stempel paling terlatih, begitu juga DPR.
Hukum cuma jadi alat, begitu peradilan. Ismail Suny, Adnan Buyung Nasution, Princen, Mochtar Lubis, dan beberapa anak muda yang cerdas dan jujur, ambil misalnya Hariman Siregar, begitu juga Sjahrir dipenjarakan tanpa proses pengadilan yang fair. Kebiasaan buruk yang diawali pada tahun 1974 terus dilanjutkan. Terlalu kasar, diujung kejayaannya, entah demi negara atau dirinya sendiri atau keluarganya, Presiden murah senyum ini membenarkan tindakan sewenang-wenang terhadap sejumlah anak muda. Anak-anak muda, yang dinilai sebagai tukang bikin onar negara, padahal mungkin saja cuma memusingkan dirinya, keluarganya atau konco-konco ekonominya, ditangkap dan disekap. Sebagian telah bebas, tetapi sebagian lagi wallahu alam, tak jelas rimbanya. Kalau sudah meninggal, kapan meninggalnya. Kalau sudah dikuburkan, dimana kuburannya, kalau masih hidup dimana pula tempat tinggalnya. Semuanya kabur. Prestasi gemilang lainnya yang dicapai oleh rezim Soeharto, adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Berlandaskan pada interpretasi integralistik, rezim ini tepo seliro kepada yang berbuat keliru. Feodalisasi negara yang dibangunnya, menyulitkan penegakan hukum, dan perwujudan keadilan dalam semua dimensi kehidupan. Ekspektasi rezim ini bersifat ganda dan tidak masuk akal. Ide-ide dasar yang berkembang dalam perdebatan pembentukan UUD 1945, diselami dan dianut secara sepotong-sepotong. Integralistik, misalnya hanyalah satu ide dasar, bukan satusatunya ide. Gagasan yang dikemukakan oleh Muh. Yamin dan Moh Hatta, tentang hak asasi manusia, tidak pernah disentuh sama sekali. Karena dianggap mewakili nilai barat, HAM dinomorduakan, kecuali sejalan dengan kebutuhan pembangunan.
Singkatnya, babakan 1960-1998 merupakan babakan kehancuran kultur konstitusionalisme. Manipulasi atas semangat, norma dan aturan konstitusi terjadi begitu terbuka. Orde Lama dan Orde Baru sama-sama menggunakan cara seperti itu. Namun alasannya berbeda. Kedua orde ini, tepat dikategori sebagai non constitutional government, atau otoritarian government, dengan Bung Karno dan Pak Harto sebagai sumber dari segala sumber, bukan konstitusi itu sendiri. Karena personalisasi keduanya, dengan level yang berbeda-beda, interpretasi atas konstitusi, dalam banyak hal memunculkan nuansa feodal. Feodalisasi, boleh jadi disadari oleh keduanya, akhirnya merupakan buah atas interpretasi ide-ide konstitusi 1945. Hasil akhirnya adalah hancurnya budaya berkonstitusi di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kehidupan politik dan konstitusi sejak tahun 1960-1966, jelas menutup jalan ke kultur konstitusionalisme.
Pergeseran Pemahaman: Mekar Lagi Konstitusionalisme Kita Ketika Pak Harto, mantan Presiden RI yang murah senyum itu, berkali-kali ditetapkan menjadi presiden, ahli hukum, politik dan sebagian fungsionaris partai politik, menandai tidak adanya ketentuan yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden sebagai penyebabnya. Padahal Amerika Serikat baru memiliki ketentuan yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden pada tahun 1952. Sebelumnya, sama sekali tidak ada ketentuan itu, persis seperti kita. George Washington-lah yang memulai meletakan fundasinya. Dengan sukarela ia mundur dari pencalonannya untuk ketiga kalinya. Apa yang dilakukan oleh Washington, menjadi tradisi konstitusionalisme yang bagus. Tradisi berlanjut terus, sampai nanti Franklin Delano Rosevelt menjadi presiden. Bahkan fenomena Rosevelt inilah yang merangsang rakyat Amerika Serikat memikirkannya. Kongres pun meresponnya dengan membuat aturan - amandment membatasi masa jabatan presiden.
Terabaikannya ketentuan yang secara exprecis verbis mengatur suatu atau beberapa soal, mestilah tidak dimanfaatkan untuk mengacaukan gagasan konstitusionalisme para pendiri negara. Sebab teks-teks konstitusi, tidak pernah terbentuk tanpa didahului argumen-argumen yang menyertainya. Biasanya argumen-argumen ini sangat mendasar, Komprehensif serta menembus waktu. Kalau hal ini dimengerti oleh para penyelenggara negara, sebagaimana dilakukan oleh Washington, maka Pak Harto pasti dengan sukarela mau untuk tidak menjadi presiden berulang-ulang kali. Dengan interpretasinya yang khas, dipadukan dengan praktiknya yang ketat, itulah yang menghasilkan kehancuran kultur konstituisi pada masanya. Mengerti dan memahami teks pasal saja tidaklah cukup, walaupun tetap menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Mengerti teks, haruslah meliputi atau menembus kotak hitam di belakangnya, yang berisi metavalue-meta ide menyangkut semangat yang melandasi teks itu. Memahami semangat teks, tidak dapat dibatasi sebatas argumenargumen yang langsung berkaitan dengan satu pasal. Sebagai suatu sistem, pasal-pasal dalam UUD, merupakan pengembangan lebih jauh dari prinsip dasar yang lebih tinggi.
Prinsip dasar konstitusi Amerika Serikat misalnya, adalah jaminan dan perlindungan terhadap hak individu. Prinsip dasar ini yang dikembangkan ke dalam berbagai aspek. Pengorganisasian kekuasaan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan, tidak lain merupakan perwujudan gagasan dasar itu secara lebih instrumental dan operasional. Inilah yang digunakan, oleh, misalnya John Marshal, Chief of Supreme Court, dalam menyelesaikan sengketa antara Marbury versus Madison. Dengan berdiri di atas dan menyelami gagasan tentang penolakan terhadap tirani, yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari penghargaan atas hak-hak individu, maka Marshal sampai pada kesimpulan, bahwa tindakan yang dikenakan pemerintah kepada Marbury bersifat inkonstitusional.
Kembali ke Indonesia, khususnya pasca perubahan UUD 1945. Kultur konstitusi macam apakah yang harus dikembangkan setelah perubahan UUD 1945? Sama seperti UUD 1945 sebelum diubah, tidak ditemukan satupun teks konstitusi yang mengatur misalnya tentang keterbukaan, pemerintahan yang bertanggung jawab, akuntabilitas, dan lainnya. Yang ditemukan adalah pembatasan masa jabatan presiden, perubahan cara pengisian jabatan presiden, demikian juga cara pengisian keanggotaan DPR dan MPR, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, pengisian jabatan jabatan hakim agung, dan sebagainya.
Konstitusionalisme yang sedang tumbuh pada saat ini, yang berawal pada tahun 1998, tepatnya sejak siding istimewa MPR, menandai pergeseran yang signifikan. Hal itu terlihat pada produk-produk hukum sidang istimewa itu. Dilihat dari sudut pandang kajian tentang konstitusionalisme, apa yang dihasilkan dalam Sidang Istimewa itu, memperlihatkan secara ekspresif munculnya nilai, orientasi dan harapan baru. Semuanya bermuara pada pembentukan pemerintahan yang bertanggung jawab. Perintah yang ditujukan kepada pemerintah untuk mengoreksi praktik penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat kolutif, koruptif, dan nepotisme, begitu juga terhadap sentralisasi versi UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, adalah sebagian buktinya.
Drama pergeseran ini, ternyata, hanya menjadi batu loncatan untuk perubahan yang lebih dramatis, setahun kemudian. UUD 1945, yang pada masa Orde Baru, diperlakukan sebagai barang keramat, bukan hanya diubah, melainkan direform. Sangat mengagumkan, karena tidak sedikit nilai, yang pada tahun 1945, sebagian ditolak atau diterima secara samar-samar, justru dibuat jelas. Kekuasaan Presiden yang seolah tanpa batas, dilakukan pembatasan, system pemerintahan, prinsip check and balances, susunan pemerintahan, wewenang MPR, kekuasaan DPR, bahkan muncul lembaga baru dalam struktur MPR kita, eksistensi Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, kekuasaan kehakiman, hak asasi manusia, semuanya mengalami pergeseran. Secara tegas prinsip-prinsip tersebut diatur masukan ke dalam UUD 1945. Mengagumkan. Tetapi jangan buru-buru berhenti memberikan perhatian yang bersifat kritis. Bila dilihat dari sudut gagasan konstitusionalisme, khususnya aspek constitutional reform, apa yang sudah terjadi barulah berada atau menyentuh level political game. Level ini merupakan, perwujudan permainan pada level tertinggi, karena, mungkin mereka tidak setuju,
tetapi pasti sulit ditolak, adanya soal memuaskan konstituensi. Sebagaimana sudah dikemukakan pada awal kajian ini, masih harus ditunggu bagaimana interpretasi para penyelenggara kekuasaan negara terhadap konstitusi. Bagaimana pula mereka mempraktikan norma dan aturan-aturan itu. Pemerintahan yang bertanggung jawab, sering disebut constitutional government, sering dipertukarkan dengan constitutional democratic, bukanlah barang yang sekali jadi. Kudeta di Thailand, tentu hanya satu bukti. Padahal para ahli yang mengkaji perubahan dramatis dari pemerintahan otoriter ke konstitusional, pernah menunjuk apa yang dicapai Thailand sebagai suatu lompatan mengagumkan dalam pertumbuhan constitutional government. Tertatih-tatihnya kita dalam memberantas korupsi, me-reformasi birokrasi, menempatkan hukum sebagai panglima, masih harus diusahakan secara sistematis. Energi yang sudah tertumpah, sejauh ini belum cukup mengantarkan kita ke pintu gerbang pemerintahan yang efektif dan efisien. Good administration, sebagai satu elemen kunci dalam good governance, masih harus diusahakan pula. Masalahnya, semua soal ini memiliki tali-temali yang saling berkorelasi, dan muncul sebagai sebuah lingkaran yang utuh. Semua simpulnya harus digarap, agar menghasilkan sesuatu yang bermakna. Good administration, hanya dapat diciptakan kalau tersedia aparatur yang berprilaku baik good behaviour.
Hukum, akan menjadi supreme, kalau aparatnya bersih, baik moral maupun intelektualnya. Hanya dengan aparatur semacam itulah, hukum tidak akan sedikit sulit dibengkokan untuk tujuan-tujuan yang tidak pantas .
Semua masalah tersebut, akhirnya dipecahkan dengan satu formula, yaitu diatur dalam konstitusi. Karena sulitnya mengatur secara rinci batas-batas pembagian kekuasaan, dan hal lainnya secara rigid, maka hanya prinsip-prinsipnya saja yang diatur. Masalah ikutan yang muncul adalah, bagaimana membuat jaminan agar ketentuan-ketentuan dalam konstitusi akan ditaati. Untuk masalah ini dipecahkan dengan kesepakatan konstitusi disifatkan sebagai Law of the Land. Takrif sederhananya adalah konstitusi berlaku untuk seluruh wilayah, dan konstitusi merupakan hukum tertinggi yang berlaku dalam negara. Keteguhan untuk taat pada konstitusi, dengan menempatkannya sebagai hukum tertinggi dalam sistem, bukan hanya hukum, melainkan juga politik, bahkan dalam kehidupan berekonomi, itulah yang kemudian bermetamorfosa dan memunculkan isme tentang konstitusi.
Apa yang hendak dijadikan rujukan untuk mengatur penyelenggaraan negara? Ketentuan-ketentuan yang bersifat tertulis secara tegas dalam konstitusi yang dijadikan pedoman? Faktanya adalah negatif. Akan tetapi hal itu tidak dapat diartikan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak dipedomani. Yang dipedomani justru hal yang jauh lebih fundamental, yaitu nilai-nilai yang melandasi setiap pasal konstitusi. Para penyelenggara pemerintahan dari seluruh cabang kekuasaan justru menyelami setiap dimensi pemikiran dasar yang membentuk pasal atau suatu ketentuan. Itulah yang dilakukan.
Terdapat beberapa peristiwa yang membuktikan bahwa para penyelenggara menyelami ide-ide dasar yang melandasi setiap pasal, ketika menghadapi suatu peristiwa ketatanegaraan, yang tidak memiliki landasan hukum secara terang. Peristiwa pertama adalah ketidak-sediaan George Washington untuk kembali dipilih menjadi presiden. Bagi George,kekuasaan yang terlalu lama akan memunculkan kembali feodalisme. Kekuasaan pun menjadi tak terbatas. Padahal inilah yang secara tegas ditolak oleh Thomas efferson, tatkala membahas konstitusi. Peristiwa kedua yang cukup spektakuler adalah penyelesaian kasus penolakan pengangkatan terhadap William Marbury menjadi hakim, setelah terpilih, pada akhir masa jabatan John Adam. John Marsal, Chief of Supreme Court, harus menyelami pikiran-pikiran dasar yang berkembang pada saat pembahasan konstitusi dalam menyelesaikan kasus. Hasil penyelidikan terhadap gagasan dasar yang berkembang pada saat pembahasan konstitusi, mengantarkan Marshal pada kesimpulan bahwa tindakan penolakan terhadap Marbury merupakan tindakan inkonstitusional. Menurut Marbury, ide dasar yang berkembang pada saat pembentukan konstitusi, tentu yang berhasil ditemukan selama bertahun menyelami perkara itu, adalah kuatnya ide para pembentuk konstitusi untuk mencegah timbulnya tirani. Tirani, sebagaimana diyakini Thomas Jefferson, John Jay, Hamilton dan beberapa yang lainnya, dipercaya sebagai pangkal timbulnya ketidak-adilan.
Dari waktu ke waktu dalam perkembangan penyelenggaraan pemerintahannya, setiap kali terjadi persoalan-persoalan, terutama dibidang ekonomi, selalu dikembalikan pada ide dasar yang berkembang dalam pembahasan konstitusi. Misalnya doktrin tentang keagungan nilai-nilai individual, yang merupakan bagian penting dari hak asasi manusia,
diterjemahkan demikian kuat, ketat dan kaku, ke dalam doktrin kebebasan berkontrak. Doktrin ini berakibat, pemerintah tidak bisa ikut campur dalam urusan kontrak. Namun tatkala terjadi depresi ekonomi pada tahun 1930-an, doktrin ini pun perlahan ditinggalkan. Pada tahun ini pula berkembang doktrin baru yaitu, substance due process of law, di samping due process of law itu sendiri.
Gambaran sekilas tentang pertumbuhan praktek bernegara, khususnya pelembagaan dan ketaatan terhadap konstitusi, menunjukan suatu proses bagaimana semestinya mesti ditemukan. Dalam beberapa kajian mutakhir, konsep konstitusionalisme, dimengerti sebagai proses yang meliputi aspek-aspek sejarah dan kultur interpretasi atas teks, meliptui pula konteks keberlakuan teks itu sendiri. Konstitusionalisme, dalam konteks ini dapat diinterpretasi sebagai sebuah sistem yang memungkinkan berkembangnya interpretasi atas ketentuan-ketentuan konstitusi, termasuk di dalamnya praktik dan harapan-harapan terhadap pemerintah. Dalam aktifitasnya, pemerintah, bukan hanya harus menampakan tindakan yang bersifat evaluatif, tetapi juga harus sejalan dengan prinsip tertinggi atau terdalam yang terkandung dalam konstitusi. Pemerintah harus melakukannya secara sadar dan sukarela, bukan sebaliknya, karena didorong oleh rasa takut mendapat sanksi dari pengadilan.
Penyebutan pengadilan, harus dikembalikan dan atau didasarkan pada sistem ketatanegarannya. Amerika menempatkan pengadilan sebagai institusi satu-satunya yang memonopoli interpretasi atas konstitusi. Tentu berbeda dengan Perancis, yang tidak menempatkan pengadilan sebagai satu-satunya lembaga penafsir konstitusi. Begitu juga Inggris dan Belanda. Karena penempatan hal itu harus dikembalikan dan dimengerti berdasarkan rezim konstitusionalisme yang digariskan dalam konstitusinya.
Seperti halnya konsep konstitusionalisme, kultur konstitusi, terkonsepkan juga sebagai sebuah skema interpretative atas, atau berkorelasi dengan norma, ketentuan-ketentuan, dan praktik-praktik, dari sebagian anggota dari komunitaskomunitas utama dalam satu sistem sosial kemasyarakatan, setidak-tidaknya mengidentifikasi dan memelihara dua level sistem; norms and rules. Sesuai dengan konteksnya, maka kultur, bukan hanya konstitusi, melainkan hukum secara umum, memiliki tingkat keragaman dan kompleksitas tersendiri. Kultur konstitusi harus dilihat dan dimengerti, dengan memahami praktik yang terlembagakan oleh rakyat, dalam mengawasi pemerintahan mereka, daripada memfokuskan perhatian pada teks-teks konstitusi, yang mengatur bagaimana masyarakat politik beroperasi secara aktual, atau bagaimana masyarakat membayangkan bahwa hal itu akan beroperasi. Keragaman interpretasi dan pemahaman, bahkan perbedaan tatanan aturan, yang di dalamnya meliputi konvensi memungkinkan tindakan-tindakan yang bersifat identifikasi terhadap tatanan aturan pada level tertinggi. Yang hendak diidentifikasi adalah: (i) ruang lingkupnya. (ii) pelaksanaan aturan, dan (iii) akibat yang menyertai pelaksanaan aturan tersebut.
Persilangan Kultur Konstitusionalisme: Paradoks
Sejak tahun 1848, kultur hukum kita sudah dibuat terbelakang oleh pemerintah jajahan Belanda. Diawali dengan diberlakukannnya dengan Code du Commerce, selanjutnya ditopang dengan Regering Reglement, 1854. RR, merupakan instrumen untuk memformalisasikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Sesuai dengan politik hukum pada masa itu, perlahan-lahan pemerintah Hindia Belanda membelah, boleh jadi juga mendiversifikasi kultur hukum kita.
Pembelahan awal, adalah pemberlakuannya Agrarische Wet pada 1870. Cukup menarik, pemerintah Hindia Belanda menggunakan azas domein varklaring, di dalam Agrarische Wet itu. Azas ini bertentangan secara diametral dengan filsafat bangsa Indonesia, karena kita menggunakan asas kolektif. Pemilikan atau penguasaan dilakukan secara kolektif. Namun, Belanda tidak mau tahu dengan soal ini. Mereka tidak merasa perlu untuk bertanya lebih dulu kepada orang bumi putra. Satu hal yang sering dilupakan adalah tindakan pemberlakuan Agrarische Wet itu, bukan hanya memberlakukan hukum modern, versi pemerintah Kolonial Belanda, yang berbeda dengan hukum yang berlaku di Hindia Belanda, melainkan pemberlakuan ini, justru merusak nilai-nilai yang diyakini oleh orang bumi putra. Agrarische Wet, sejatinya merupakan ekspresi atas cara pandang orang Belanda, sekurang-kurangnya kaum liberal yang menguasai parlemen Belanda kala itu.
Bukan tidak mengalami penolakan di parlemen, ketika gagasan ini dimunculkan. Akan tetapi, watak kapitalis yang melekat pada gagasan ini memiliki relevansi fungsional dengan tujuan penjajahan, akhirnya gagasan itupun masuk ke Hindia Belanda. Ruh gagasan tersebut membuka jalan bagi kapitalis swasta di negeri Belanda untuk masuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Tentu menguntungkan Belanda.
Sambil tumbuh secara paradoksal, pada tahun 1903 pemerintah Hindia Belanda membuat Decentralische Wet. Undangundang ini, sepintas merupakan suatu terobosan untuk memperkenalkan pemerintahan modern yang sudah lebih dahulu berkembang di Belanda. Akan tetapi, ruhnya adalah memangkas habis pemerintahan tradisional bumi putra kala itu. Kota praja, sebagai anak yang baru lahir dari Decentralische itu, lama-kelamaan tumbuh, tentu untuk dan demi kepentingan pemerintah Hindia Belanda, muncul beberapa provinsi. Seperti halnya, Agrarische Wet, Decentralische Wet pun menyembunyikan, namun tetap dalam kerangka politik hukum pemerintah Belanda, adalah memecah dan mengontrol, serta melunakan orang-orang bumi putra terhadap kejelekan pemerintahan kaum penjajah. Untuk keperluan melengkapi struktur organisasi pemerintahan kota praja inilah, pemerintah Hindia Belanda harus membentuk lembaga-lembaga peradilan. Peradilan landraad harus dibaca dalam kerangka ini. Betapapun peradilan ini diperuntukan bagi golongan bumi putra, tak dapat disangkal, peradilan ini merupakan perwujudan politik diskriminasi, dengan dalih pribumisasi pengadilan.
Akulturasi, atau transplantasi hukum model ini, diakui, ambil misalnya Lev, sebagai suatu politik yang membelakangi realitas. Tidak salah, kalau Sutandyo Wignjosoebroto menilainya sebagai politik transplantasi yang tidak selalu membuahkan hasil yang baik. Betapapun kegagalan itu, dari waktu ke waktu semakin nyata, Belanda memilih jalan lain. Jalan itu diberi nama jalan etik politik etik balas budi. Namun, sebagaimana biasanya, politik inipun menyembunyikan tujuan yang sebenarnya; melanggengkan kekuasaan penjajah di bumi ini. Dengan politik itu, walaupun berhasil melahirkan segelintir orang menjadi orang sekolahan, bahkan bersekolah di negeri Belanda, diharapkan secara perlahan-lahan kita mau menjadi bagian integral dari kerajaan Belanda. Jauh sebelum pengadilan atas orator ulung, Bung Karno, sosok yang tumbuh dalam perjuangannya dengan politik non koperatif, sebagai sebuah tren umum, karena dijadikan platform oleh Indische studie club, Algemene Studie Club, Perhimpunan Pelajar Indonesia, dipenghujung tahun 1920-an dan permulaan tahun 1930-an, yang merupakan motor pencerahan kala itu, hukum ditampakan secara nyata cuma sebagai alat kekuasaan kaum penjajahan. Apa yang dialami oleh Bung Karno dalam Pengadilan di Sukamiskin Bandung adalah bukti; hukum dan pengadilan cuma alat kekuasaan. Tak heran pula, kalau pada tahun-tahun sesudah itu, Bung Hatta, secara lantang mengeritik watak otoritas pemerintahan Hindia Belanda. Hatta, menilai apa yang digembar-gemborkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintahan yang didasarkan pada hukum rule of law, justru sebaliknya rule by law. Hartzai artikelen, yang anehnya masih dipertahankan sampai saat ini, oleh Hatta, orang yang kemudian dalam masa kemerdekaan memperoleh Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu hukum, sebagai pasal yang membunuh orang bumi putra.
Periode penjajahan, berakhir dengan paradoks kultur hukum. Pemberlakuan hukum-hukum modern, dengan pranata modern ala Belanda, bukan cuma gagal, akan tetapi memporak-porandakan nilai, orientasi dan ekspektasi orang bumi putra tentang ideal-ideal kultur hukum yang pantas untuk ditumbuhkan. Konvigurasi Sesudah Kemerdekaan
Babakan 1945-1960: Awal Kekacauan
Memaknai kemerdekaan dengan apapun, tentu saja benar, tergantung bagaimana lensa paradigma yang digunakannya. Dilihat dari kacamata Hukum Tata Negara, peristiwa tanggal 17 Agustus 1945, adalah suatu pernyataan tentang pemutusan tata hukum lama dan pada saat yang muncul tata hukum baru. Perkara kita masih tetap menggunakan sebagian besar hukum produk pemerintah Hindia belanda, itu adalah soal lain. Soal ini menyangkut politik hukum pemerintah kita.
Mungkin tidak terlalu simetris, akan apa yang terjadi di Perancis, dalam batas tertentu, dapat digunakan untuk menerangkan gejala kita di atas. Code du Commerce dan Code Penal di Perancis sesudah kemerdekaan, baru berhasil dibentuk beberapa tahun sesudah pernyataan kemerdekaan. Roberspire, yang memerintah Perancis segera setelah pernyataan kemerdekaan tidak berhasil melakukannya. Pemerintahannya, malah dianggap sebagai pemerintahan teror, karena keangkuhan golongan jakobin, golongan yang dianggap sebagai pemenang dalam pertarungan menjelang kemerdekaan.
Menyelami tahun-tahun awal pemerintahan kita, betapapun tidak sedikit ahli tata negara dan politik, menerimanya sebagai hal yang biasa-biasa saja, namun harus diakui, pergantian sistem pemerintahnan dari Presidensial model UUD 1945 (sebelum diubah) menjadi sistem pemerintahan parlementer, merupakan sesuatu yang berandil besar, dalam menentukan jalannya pertumbuhan kultur hukum kita.
Di usia yang begitu muda, dengan alasan-alasan yang luar biasa rasionalnya, bila dilihat konteks sosial politiknya, kita menorehkan kultur hukum yang kurang bagus, demi efektifitas usaha meyakinkan dunia Internasional, sekurangkurangnya, itulah pikiran terbuka Bung Sjahrir pemerintahan presidensial ditingggalkan. Sebagai gantinya adalah pemerintahan parlementer. Itulah yang terjadi pada tanggal 14 November 1945. Tanggal ini adalah tanggal diresmikannya pemberlakuan pemerintanan parlementer. Sjahrir pun ditunjuk oleh Bung Karno menjadi perdana menteri pertama dalam sejarah pemerintahan parlementer kita. Hanya dan demi eksistensi negara yang baru diproklamirkan, tidak seorang pun, dalam pandangan ilmiahnya, yang mengkualifikasi tindakan pergeseran pemerintahan itu, sebagai awal kemunculan budaya hukum yang tidak menghargai konstitusi. Pesan hukum konstitusi yang begitu jelas, dikesampingkan begitu saja. Dalil konvensi yang dipakai untuk menjelaskan soal itu, bagi saya terlampau berlebihan. Konvensi, dalam maknanya yang hakiki, bukanlah sesuatu praktik yang menginjak-injak ketentuan konstitusi. Praktik Amerika Serikat, sebagaimana sudah disebutkan di muka, bukanlah suatu praktik yang menginjak-injak konstitusi. Praktik mereka adalah memboboti kehidupan bernegara dengan nilai-nilai dasar konstitusi.
Paradoks lagi, itulah yang dapat dkatakan untuk melukiskan perkembangan kultur konstitusionalisme muda kala itu. Betapa tidak, di usia yang begitu muda, muncul gagasan-gagasan yang menurut saya sangat cemerlang. Kecemerlangannya, ditandai oleh dua peristiwa hukum. Pertama, maklumat Wakil Presiden untuk membuka ruang ketatanegaraan bagi tumbuhnya partai politik. Mengagumkan, mereka menolak partai tunggal. Kedua, walaupun begitu sederhana pikiran dasarnya, namun mengalih-fungsikan Komite Nasional Indonesia Pusat, sambil menunggu pembentukan MPR, dijadikan badan legislatif, adalah tindakan yang sangat maju dilihat sudut pandang konstitusionalisme. Pengalih-fungsian KNIP dari badan pembantu Presiden menjadi badan legislatif, sesungguhnya sangat sejalan dengan gagasan dasar konstitusionalisme, yaitu membatasi kekuasaan presiden. Tujuannya adalah agar kekuasaan tidak ber-evolusi menjadi kekuasaan tanpa batas. Inilah yang mengagumkan.
Sambil jalan, dan seolah telah terlatih pada periode paling awal ini, pemerintahan-pemerintahan parlementer periode 1950-1959, menandai sebuah periode paling menjengkelkan. Selalu saja tersedia alasan untuk gonta-ganti kabinet. Fakta itu, cukuplah untuk ditandai sebagai bukti empirik, betapa rapuhnya kultur konstitusionalisme dalam periode ini. Praktik politik tidak berkembang paralel dengan kebutuhan untuk mengembangkan sebuah budaya hukum. Praktik pengelolaan negara menjadi tidak efektif, apalagi mengkonsolidasi pertumbuhan gagasan-gagasan dasar konstitusionalisme. Padahal, sebagaimana pada periode awal kemerdekaan, pada fase ini terdapat beberapa fenomena yang mengagumkan juga. Tindakan hukum yang tidak pandang bulu, tetap masih dapat tumbuh. Jaksa Agung Suprapto, begitu kokoh sebagai pengawal hukum. Menteri pun dibawa ke pengadilan. Mengagumkan betul. Tetapi itu pulalah yang menjadi paradoksnya.
Babakan 1960-1998: Puncak Kemerosotan Konstitusionalisme
Seolah menjadi tiupan sangkakala, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, mematikan semua ekspektasi, minimal sekalipun, ide-ide konstitusionalisme. Segera setelah dekrit, dengan penuh keyakinan keadaan ketatanegaraan, berada dalam situasi darurat. Revolusi pun memperoleh tempat basah. Untuk dan atas nama Revolusi yang selalu saja dianggap belum selesai, hukum revolusi pun diberlakukan. Perlahan, tapi pasti, tata hukum yang telah terkonsepkan sebagai tata hukum revolusi, dan memperoleh dukungan dari sebagian ahli hukum yang sangat idiologikal, loyal pada Bos revolusi, ide hukum revolusi mengambil bentuk yang nyata. Tak berapa lama, hukum revolusi pun menentukan mangsanya, dan segera saja memangsainya.
Dewan Perwakilan Rakyat, hasil pemilu 1955, yang diakui secara jujur oleh semua ilmuwan sebagai pemilu paling spektakuler, karena berlangsung ditengah situasi kita belum terlatih dengan ihwal pilih-memilih, apalagi tingkat pendidikan yang begitu rendah, dan alat komunikasi yang masih primitif, harus bubar. Penyebabnya sederhana sekali. DPR menolak RAPBN yang diajukan oleh pemerintah. Padahal ini adalah hak konstitusionalnya. Presiden tahu soal ini. Tapi, demi dan atas nama revolusi yang belum selesai, dan sesuai dengan tuntutan logika revolusi, diperlukan tindakan revolusioner. DPR akhirnya dibubarkan. Lahirlah kemudian DPR-GR. Sebelumnya penguasa terlebih menciptakan situasi politik yang sangat ketat, karena pengawasan pemerintah. Pertemuan politik harus dibekali dengan izin. Tanpa izin dari penguasa, pertemuan, apapun tujuannya akan dibubarkan. Dalam perkembangan yang begitu cepat, setelah DPR, moncong politik selanjutnya diarahkan ke partai-partai. Partai Masyumi, sebuah partai yang dikenal gigih dan sangat kokoh berdiri di atas landasan konstitusionalisme, menjadi target tembakan politik yang mematikan. Dengan alasan yang dicari-cari, Masyumi diminta untuk membubarkan diri atau akan dibubarkan. Masyumi akhirnya mengalami dikirimi surat yang substansinya adalah meminta untuk membubarkan diri. Respon Masyumi sangat menarik. Masyumi memperkarakan tindakan Presiden yang meminta pembubaran itu. Sayang sekali, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Raya, saya lupa namanya, menolak memeriksa dan mengadili perkara itu. Alasannya begitu sederhana, yaitu bukan masalah hukum. Andaikan saja, Ketua pengadilan memiliki nyali sebagai pengawal keadilan, dan apalagi sebagai pengawal bangsa, perkara ini akan menjadi titik tumbuhnya kultur konstitusionalisme Indonesia. Bagaimana tidak? Tindakan Presiden dinilai oleh pengadilan. Andaikan pula, pengadilan menyatakan perbuatan Presiden bersifat melawan hukum, pasti akan menjadi putusan yang bernilai sangat tinggi dalam perspektif konstitusionalisme.
Selain DPR, Masyumi, dan larang-larangan atas kegiatan politik tertentu, pemerintah memenjarakan sejumlah warga negara yang berbeda haluan politiknya. Interpretasi atas konstitusi yang bersifat manipulatif, juga digunakan oleh pemerintah dalam memenjarakan Kasman Singadimedjo, Sjahrir, Yunan Nasution, dan beberapa yang lainnya. Praktik pada bidang lainnya, ambil misalnya di bidang ekonomi pun tidak berbeda.
Rezim Bung Karno, jelas bukan rezim konstitusional. Tak mengherankan, rakyat bergembira ketika pada tahun 1966, muncul orde baru, yang retoris digembar-gemborkan sebagai Orde Konstitusional. Tepi, faktanya orde bikinan Presiden murah senyum, Soeharto, pada level tertentu cukup mengerikan, walaupun pada bidang lainnya, prestasinya begitu hebat. Di bidang pembangunan, rezim ini benar-benar hebat. Tidak sedikit Masjid dibangun, tak terhitung berapa milyar kilo meter jalan dan jembatan dibangun, kapal laut dan pesawat terbang juga dibuat. Tak terhitung pula, berapa trilyunan rupiah dipakai untuk menyubsidi minyak, beras dan lainnya, demi kesejahteraan rakyat. Tak terhitung juga berapa banyak SD Inpres dibangun, sama halnya dengan Puskesmas. Orde Baru jago di bidang ini. Tetapi pada bidang lain, Orde Baru, jelas mengerikan dan menakutkan. Integralistik, yang diselami orde ini, melahirkan pembenaran untuk menolak perbedaan pendapat, membenarkan tindakan sewenang-wenang, dalam semua bidang kehidupan, hukum politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan landasan integralistik, Presiden murah senyum ini, muncul seolah-olah sebagai raja. Negara seolah identik dengannya. Tidak ada yang dapat menolak kemauannya. MPR, yang secara tekstual berada di atas Presiden, ternyata cuma jadi tukang stempel paling terlatih, begitu juga DPR.
Hukum cuma jadi alat, begitu peradilan. Ismail Suny, Adnan Buyung Nasution, Princen, Mochtar Lubis, dan beberapa anak muda yang cerdas dan jujur, ambil misalnya Hariman Siregar, begitu juga Sjahrir dipenjarakan tanpa proses pengadilan yang fair. Kebiasaan buruk yang diawali pada tahun 1974 terus dilanjutkan. Terlalu kasar, diujung kejayaannya, entah demi negara atau dirinya sendiri atau keluarganya, Presiden murah senyum ini membenarkan tindakan sewenang-wenang terhadap sejumlah anak muda. Anak-anak muda, yang dinilai sebagai tukang bikin onar negara, padahal mungkin saja cuma memusingkan dirinya, keluarganya atau konco-konco ekonominya, ditangkap dan disekap. Sebagian telah bebas, tetapi sebagian lagi wallahu alam, tak jelas rimbanya. Kalau sudah meninggal, kapan meninggalnya. Kalau sudah dikuburkan, dimana kuburannya, kalau masih hidup dimana pula tempat tinggalnya. Semuanya kabur. Prestasi gemilang lainnya yang dicapai oleh rezim Soeharto, adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Berlandaskan pada interpretasi integralistik, rezim ini tepo seliro kepada yang berbuat keliru. Feodalisasi negara yang dibangunnya, menyulitkan penegakan hukum, dan perwujudan keadilan dalam semua dimensi kehidupan. Ekspektasi rezim ini bersifat ganda dan tidak masuk akal. Ide-ide dasar yang berkembang dalam perdebatan pembentukan UUD 1945, diselami dan dianut secara sepotong-sepotong. Integralistik, misalnya hanyalah satu ide dasar, bukan satusatunya ide. Gagasan yang dikemukakan oleh Muh. Yamin dan Moh Hatta, tentang hak asasi manusia, tidak pernah disentuh sama sekali. Karena dianggap mewakili nilai barat, HAM dinomorduakan, kecuali sejalan dengan kebutuhan pembangunan.
Singkatnya, babakan 1960-1998 merupakan babakan kehancuran kultur konstitusionalisme. Manipulasi atas semangat, norma dan aturan konstitusi terjadi begitu terbuka. Orde Lama dan Orde Baru sama-sama menggunakan cara seperti itu. Namun alasannya berbeda. Kedua orde ini, tepat dikategori sebagai non constitutional government, atau otoritarian government, dengan Bung Karno dan Pak Harto sebagai sumber dari segala sumber, bukan konstitusi itu sendiri. Karena personalisasi keduanya, dengan level yang berbeda-beda, interpretasi atas konstitusi, dalam banyak hal memunculkan nuansa feodal. Feodalisasi, boleh jadi disadari oleh keduanya, akhirnya merupakan buah atas interpretasi ide-ide konstitusi 1945. Hasil akhirnya adalah hancurnya budaya berkonstitusi di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kehidupan politik dan konstitusi sejak tahun 1960-1966, jelas menutup jalan ke kultur konstitusionalisme.
Pergeseran Pemahaman: Mekar Lagi Konstitusionalisme Kita Ketika Pak Harto, mantan Presiden RI yang murah senyum itu, berkali-kali ditetapkan menjadi presiden, ahli hukum, politik dan sebagian fungsionaris partai politik, menandai tidak adanya ketentuan yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden sebagai penyebabnya. Padahal Amerika Serikat baru memiliki ketentuan yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden pada tahun 1952. Sebelumnya, sama sekali tidak ada ketentuan itu, persis seperti kita. George Washington-lah yang memulai meletakan fundasinya. Dengan sukarela ia mundur dari pencalonannya untuk ketiga kalinya. Apa yang dilakukan oleh Washington, menjadi tradisi konstitusionalisme yang bagus. Tradisi berlanjut terus, sampai nanti Franklin Delano Rosevelt menjadi presiden. Bahkan fenomena Rosevelt inilah yang merangsang rakyat Amerika Serikat memikirkannya. Kongres pun meresponnya dengan membuat aturan - amandment membatasi masa jabatan presiden.
Terabaikannya ketentuan yang secara exprecis verbis mengatur suatu atau beberapa soal, mestilah tidak dimanfaatkan untuk mengacaukan gagasan konstitusionalisme para pendiri negara. Sebab teks-teks konstitusi, tidak pernah terbentuk tanpa didahului argumen-argumen yang menyertainya. Biasanya argumen-argumen ini sangat mendasar, Komprehensif serta menembus waktu. Kalau hal ini dimengerti oleh para penyelenggara negara, sebagaimana dilakukan oleh Washington, maka Pak Harto pasti dengan sukarela mau untuk tidak menjadi presiden berulang-ulang kali. Dengan interpretasinya yang khas, dipadukan dengan praktiknya yang ketat, itulah yang menghasilkan kehancuran kultur konstituisi pada masanya. Mengerti dan memahami teks pasal saja tidaklah cukup, walaupun tetap menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Mengerti teks, haruslah meliputi atau menembus kotak hitam di belakangnya, yang berisi metavalue-meta ide menyangkut semangat yang melandasi teks itu. Memahami semangat teks, tidak dapat dibatasi sebatas argumenargumen yang langsung berkaitan dengan satu pasal. Sebagai suatu sistem, pasal-pasal dalam UUD, merupakan pengembangan lebih jauh dari prinsip dasar yang lebih tinggi.
Prinsip dasar konstitusi Amerika Serikat misalnya, adalah jaminan dan perlindungan terhadap hak individu. Prinsip dasar ini yang dikembangkan ke dalam berbagai aspek. Pengorganisasian kekuasaan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan, tidak lain merupakan perwujudan gagasan dasar itu secara lebih instrumental dan operasional. Inilah yang digunakan, oleh, misalnya John Marshal, Chief of Supreme Court, dalam menyelesaikan sengketa antara Marbury versus Madison. Dengan berdiri di atas dan menyelami gagasan tentang penolakan terhadap tirani, yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari penghargaan atas hak-hak individu, maka Marshal sampai pada kesimpulan, bahwa tindakan yang dikenakan pemerintah kepada Marbury bersifat inkonstitusional.
Kembali ke Indonesia, khususnya pasca perubahan UUD 1945. Kultur konstitusi macam apakah yang harus dikembangkan setelah perubahan UUD 1945? Sama seperti UUD 1945 sebelum diubah, tidak ditemukan satupun teks konstitusi yang mengatur misalnya tentang keterbukaan, pemerintahan yang bertanggung jawab, akuntabilitas, dan lainnya. Yang ditemukan adalah pembatasan masa jabatan presiden, perubahan cara pengisian jabatan presiden, demikian juga cara pengisian keanggotaan DPR dan MPR, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, pengisian jabatan jabatan hakim agung, dan sebagainya.
Konstitusionalisme yang sedang tumbuh pada saat ini, yang berawal pada tahun 1998, tepatnya sejak siding istimewa MPR, menandai pergeseran yang signifikan. Hal itu terlihat pada produk-produk hukum sidang istimewa itu. Dilihat dari sudut pandang kajian tentang konstitusionalisme, apa yang dihasilkan dalam Sidang Istimewa itu, memperlihatkan secara ekspresif munculnya nilai, orientasi dan harapan baru. Semuanya bermuara pada pembentukan pemerintahan yang bertanggung jawab. Perintah yang ditujukan kepada pemerintah untuk mengoreksi praktik penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat kolutif, koruptif, dan nepotisme, begitu juga terhadap sentralisasi versi UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, adalah sebagian buktinya.
Drama pergeseran ini, ternyata, hanya menjadi batu loncatan untuk perubahan yang lebih dramatis, setahun kemudian. UUD 1945, yang pada masa Orde Baru, diperlakukan sebagai barang keramat, bukan hanya diubah, melainkan direform. Sangat mengagumkan, karena tidak sedikit nilai, yang pada tahun 1945, sebagian ditolak atau diterima secara samar-samar, justru dibuat jelas. Kekuasaan Presiden yang seolah tanpa batas, dilakukan pembatasan, system pemerintahan, prinsip check and balances, susunan pemerintahan, wewenang MPR, kekuasaan DPR, bahkan muncul lembaga baru dalam struktur MPR kita, eksistensi Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, kekuasaan kehakiman, hak asasi manusia, semuanya mengalami pergeseran. Secara tegas prinsip-prinsip tersebut diatur masukan ke dalam UUD 1945. Mengagumkan. Tetapi jangan buru-buru berhenti memberikan perhatian yang bersifat kritis. Bila dilihat dari sudut gagasan konstitusionalisme, khususnya aspek constitutional reform, apa yang sudah terjadi barulah berada atau menyentuh level political game. Level ini merupakan, perwujudan permainan pada level tertinggi, karena, mungkin mereka tidak setuju,
tetapi pasti sulit ditolak, adanya soal memuaskan konstituensi. Sebagaimana sudah dikemukakan pada awal kajian ini, masih harus ditunggu bagaimana interpretasi para penyelenggara kekuasaan negara terhadap konstitusi. Bagaimana pula mereka mempraktikan norma dan aturan-aturan itu. Pemerintahan yang bertanggung jawab, sering disebut constitutional government, sering dipertukarkan dengan constitutional democratic, bukanlah barang yang sekali jadi. Kudeta di Thailand, tentu hanya satu bukti. Padahal para ahli yang mengkaji perubahan dramatis dari pemerintahan otoriter ke konstitusional, pernah menunjuk apa yang dicapai Thailand sebagai suatu lompatan mengagumkan dalam pertumbuhan constitutional government. Tertatih-tatihnya kita dalam memberantas korupsi, me-reformasi birokrasi, menempatkan hukum sebagai panglima, masih harus diusahakan secara sistematis. Energi yang sudah tertumpah, sejauh ini belum cukup mengantarkan kita ke pintu gerbang pemerintahan yang efektif dan efisien. Good administration, sebagai satu elemen kunci dalam good governance, masih harus diusahakan pula. Masalahnya, semua soal ini memiliki tali-temali yang saling berkorelasi, dan muncul sebagai sebuah lingkaran yang utuh. Semua simpulnya harus digarap, agar menghasilkan sesuatu yang bermakna. Good administration, hanya dapat diciptakan kalau tersedia aparatur yang berprilaku baik good behaviour.
Hukum, akan menjadi supreme, kalau aparatnya bersih, baik moral maupun intelektualnya. Hanya dengan aparatur semacam itulah, hukum tidak akan sedikit sulit dibengkokan untuk tujuan-tujuan yang tidak pantas .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar